Rabu, 01 Februari 2012

TATA DESA


Desa tidak sama dengan kota, desa identik dengan sepi, terbelakang dan miskin, sementara kota identik dengan keramaian, serba maju, dan serba ada. Maka tidak mengherankan jika masyarakat cenderung melakukan perpindahan dari desa ke kota, atau menetap di desa namun dengan gaya hidup kota, seolah-olah memindahkan miniatur kota ke desa. Sebagai contoh salahsatu desa yang mayoritas penduduknya adalah TKW di Kerawang – Jawa Barat. Saking ingin majunya seperti kota,di desa tersebut telah terbangun kios Alfamart dan rumah-rumah para TKW yang berdinding keramik, dari mulai batas plafond hingga lantai rumah, seluruh dinding tertutup keramik. Berapa biaya yang dikeluarkan, dan apa fungsinya dinding keramik tersebut ? Sementara untuk buang air besar mereka tetap tidak menyediakan jamban yang memadai di rumah masing-masing, dan tidak ada saluran pembuangan air kotor yang layak. Ada juga rumah penduduk miskin di desa tersebut yang sangat tragis, karena hanya berukuran 3 x 2 meter persegi, bisa disebut bilik, yang isinya adalah tempat tidur kompor minyak dan dibawah tempat tidur adalah tempat tinggal bebek. Jadi bisa dikatakan pemilik rumah tersebut tidur di kandang bebek. Inilah salahsatu contoh kekacauan dalam menata lingkungan. Namun terdapat juga contoh yang baik, yaitu suatu desa di Kecamatan Samigaluh pada dataran tinggi di Kulon Progo Yogyakarta. Walaupun rumahnya masih berdinding bilik bambu, dan hanya ada warung-warung sederhana, namun cukup bersih dan tertata. Antara rumah dan kandang diberi jarak yang memadai, terlihat ada pemisahan zona bersih dan zona service. Toilet mereka masih sederhana, namun terjaga kebersihannya, saluran air kotor juga tertutup, sehingga tidak menebar bau yang tidak sedap. Umumnya memang desa yang aksesnya sangat jauh dengan kota cenderung lebih tertata, namun yang menempel dengan kota besar atau dilintasi jalan nasional, seperti Pantura dan Lintas Sumatera cenderung kumuh, karena merupakan daerah transisi yang bermimpi seperti kota, tapi tidak dibarengi perilaku yang memadai dan siap menerima perubahan cepat sebagaimana masyarakat kota. Selain itu, saat ini terdapat juga desa yang menjadi area wisata di pulau-pulau kecil, yang justru sangat jauh dari pantauan pemerintah, berkembang pesat menjadi bukan dirinya karena telah berubah total, sebagai contoh desa di Gili Trawangan dan Gili Meno di NTB. Di sana menjadi sulit menemui rumah penduduk asli, karena telah dibangun hotel-hotel, dengan menu internasional. Penduduk asli hanya tinggal di rumah-rumah bilik, sekedar untuk dapat menyambung hidup.

Padahal kita semua tahu mayoritas daerah di Indonesia adalah desa, maka jika desa dengan penataan yang salah menjadi kian banyak, maka dapat dibayangkan berapa banyak lingkungan di negeri ini yang akan menjadi slum / daerah kumuh. Selain daripada itu kita perlu menjadikan desa bukan hanya tempat singgah tidur atau istirahat akhir pekan bagi penduduknya, tapi desa juga harus mampu menjadi tempat untuk mencari nafkah, dan menuntut ilmu bagi penduduknya. Dengan kata lain desa harus mampu memberikan pencerahan yang nyata bagi penduduknya.

Dalam Tata Desa kita tentunya perlu melihat sasaran atau APA yang akan ditata, yaitu :
1. Manusia yang hidup di desa tersebut;
2. Lingkungan yang menjadi bagian dari daerah desa tersebut.

MENGAPA manusia dan lingkungan perlu atau bahkan harus ditata ?
Supaya mereka dapat berinteraksi secara baik, saling mendukung, sehingga terjadi simbiose mutualisme, baik antar sesama manusia, seluruh aspek lingkungan dan antara manusia dan lingkungan. Hubungan yang baik ini dapat memunculkan harmonisasi, hingga kehidupan yang ada di desa tersebut dapat berlangsung dengan nyaman,aman, sehat, dan lestari.

Lalu jika kita sudah tahu alasannya, maka kita akan menelusuri BAGAIMANA kita akan dapat melakukan Tata Desa ?
Menata desa dapat dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut :

1. TAHAP 1 : Sebagaimana makna kata desa sebagai satu kesatuan yang punya ikatan, maka kita harus tahu dan telusuri terlebih dahulu IKATAN DESA tersebut, artinya KITA HARUS PAHAMI SEJARAH DESA, sebelum kita mulai menatanya. Jangan kita menata sesuatu yang tidak kita pahami asal muasalnya. Karena akan menimbulkan perombakan yang justru akan melenyapkan jatidiri suatu hal tersebut, termasuk dalam hal ini desa. Tujuan kita adalah menata, bukan merombak atau menjadikan desa tersebut sebagai sesuatu yang baru. Ibarat seorang anak kalau dia gadis desa yang lugu dan manis jika tanpa banyak pakai make up, maka jangan didadani seperti rocker, yang rambutnya dicat, dan berlipstik unggu – akan jadi makhluk aneh nantinya. Hal pokok yang harus diketahui dari sejarah desa, selain LATAR BELAKANG dibentuknya desa adalah TUJUAN DESA.

2. TAHAP 2 : Dengan berpedoman pada sejarah desa, maka kita memulai tahap IDENTIFIKASI KONDISI DESA SAAT INI, yaitu :
1) Kondisi Manusia
a. Pola hidup manusia sebagai individu;
b. Pola interaksi dengan sesama manusia (termasuk dalam hal ini hukum adat yang ada di desa, yang mengatur interaksi sosial desa);
c. Pola interaksi dengan lingkungan (termasuk dalam hal ini hukum adat yang ada di desa, yang mengatur interaksi manusia dengan lingkungan desa);
d. Kondisi force majeure dengan faktor utama manusia yang berulang terjadi atau cukup dahsyat (tawuran, kebakaran karena ulah manusia, dsbnya).

2) Kondisi Lingkungan
a. Tanah (batas tanah desa, kondisi tanah, tingkat kesuburan, presentase daerah resapan dsbnya);
b. Air (kondisi mata air, mutu air, resapan air, siklus dan curah hujan, dsbnya);
c. Angin (intensitasnya, arahnya, pengaruhnya kepada kehidupan sehari-hari, dsbnya);
d. Tumbuhan (jenisnya, habitatnya dan siklus tanam/panennya, penyakitnya);
e. Binatang (jenisnya, habitatnya, penyakitnya dan adakah yang menimbulkan penyakit bagi manusia/lingkungan lainnya).
f. Kondisi force majeure dengan faktor utama lingkungan/alam, yang berulang terjadi dengan/tanpa siklus, atau cukup dahsyat (bencana alam – tanah longsor, banjir, puting beliung, serangan binatang buas, dsbnya).

3. TAHAP 3 : Dari identifikasi kondisi yang ada kita dapat memilah aspek positif / negatif, sebagai berikut :

1) Potensi :
a. Potensi dari Manusia
b. Potensi dari Lingkungan

2) Hambatan / Kendala :
a. Hambatan / Kendala dari Manusia
b. Hambatan / Kendala dari Lingkungan

3) Ancaman / Hal yang harus diwaspadai :
a. Ancaman dengan faktor utama Manusia
b. Ancaman dengan faktor utama Lingkungan

4. TAHAP 4 : Setelah potensi, hambatan dan ancaman diketahui, maka kita dapat membuat RANCANGAN, dengan mengacu pada :

1) PENCAPAIAN TUJUAN DESA. Adakah tujuan desa yang belum tercapai, dan jika sepintas semua telah tercapai, maka kita beralih pada

2) BAGAIMANA MENJAGA DESA TERHADAP ANCAMAN YANG ADA. Jika sepintas ancaman tidak ada yang serius, maka kita beralih pada

3) BAGAIMANA MENGATASI HAMBATAN/KENDALA YANG ADA. RANCANGAN TERSEBUT HARUS MEMILIKI SKALA PRIORITAS UNTUK DISELESAIKAN. Bukan tidak mungkin ada overlapping antara pencapaian tujuan desa dengan upaya menjaga desa terhadap ancaman yang ada, atau terhadap upaya mengatasi hambatan/kendala yang ada di desa.

5. TAHAP 5 : Jika tujuan desa telah terpenuhi, sudah tidak ada ancaman, hambatan / kendala yang berarti, maka dapat dilakukan PENGEMBANGAN DESA, yaitu dengan mendorong seluruh daya desa agar dapat bersinergi dengan lingkungan / kesatuan komunitas yang lebih luas secara harmonis, serta mampu menampung segenap aspirasi masyarakatnya. Pengembangan desa ini merupakan upaya realisasi agar desa mampu memberikan pencerahan yang nyata bagi penduduknya. Desa dapat menjadi tempat berteduh, belajar dan berkarya, intinya desa mampu menjadi ruang hidup bagi upaya positif masyarakatnya.

Seluruh proses Tata Desa dilaksanakan dengan mengutamakan gotong-royong, musyawarah dan mufakat, sehingga partisipasi penduduk desa menjadi berjalan dengan baik. Karena desa bukan milik orang perorang atau kelompok tertentu, sehingga penting juga adanya upaya meminta masukan dari orang-orang yang selama ini terpinggirkan, yang pada umumnya lebih merasakan kebutuhan yang paling essensial dan paling memiliki banyak hambatan / kendala untuk hidup layak di desanya sendiri. Masyarakat di desa tanpa kecuali memang seyogyanya diberi ruang untuk berekspresi dan berpeluang untuk mencapai sumber daya, yang mereka masing-masing inginkan.

Jika kita simak baik-baik upaya menata desa, bagaimana rumitnya dan berapa banyak energi yang digunakan, serta berapa banyak keahlian dan ketrampilan yang dibutuhkan. Lalu jika kita melihat jumlah desa di Indonesia, maka kita akan lihat berapa banyak tenaga ahli dari beragam disiplin ilmu yang dibutuhkan. Kita akan sadari bahwa sebenarnya Penataan Desa adalah peluang besar lapangan kerja di seluruh Indonesia. Setiap desa perlu beberapa disiplin ilmu khusus, karena masing-masing desa memiliki kondisi yang berbeda-beda. Untuk identifikasi kondisi desa kita membutuhkan orang-orang yang punyai standarisasi sama, yaitu logika yang cukup baik, atau boleh kita sebut sarjana, yang tekun dan tidak membutuhkan kemampuan analisa yang harus diasah pengalaman, sehingga bisa kita katakan porsi ini dapat ditanggani oleh para sarjana yang baru lulus/fresh graduate. Sementara untuk tahap berikutnya membutuhkan analisa yang cukup tajam dan perlu diasah oleh pengalaman untuk memberikan masukan bagi masyarakat, dalam proses pengambilan keputusan, tahap ini ditanggani oleh sarjana yang telah berpengalaman. Berdasarkan website Wikipedia, jumlah desa di Indonesia adalah sebanyak 62.806 desa, maka jika dalam setiap desa ditanggani oleh 3 orang sarjana, maka di Indonesia pada saat ini dibutuhkan 188.418 orang sarjana untuk bekerja di desa. Yang non sarjana tentunya dapat membantu menjadi kader desa yang sifatnya mendampingi masyarakat dalam penataan desa sehari-hari sesuai minat dan kemampuan masing-masing, contoh : kader kesehatan, kader pendidikan dasar, dan sebagainya. Maka Penataan Desa sebenarnya merupakan langkah effektif untuk menanggani masalah pengangguran di negara ini. Penataan desa tidak dilakukan hanya dalam sekali putaran tahapan, namun justru terus-menerus berkembang, hingga melampaui usia penduduk desa itu sendiri.

Jakarta 23 Februari 2008

Lencana Facebook