Selasa, 24 Juni 2008

AKSI ANARKIS Sebuah Modus Perlawanan Kepada Penguasa

Sebagaimana pemberitaan http://www.detik.com/ tertanggal 24 Juni 2008, bahwa aksi yang mengatasnamakan Solidaritas Universitas Nasional pada tanggal 24 Juni 2008 berlangsung rusuh. Sebanyak kurang dari 500 mahasiswa, telah mampu mengulang aksi 100 ribu buruh pada 11 Mei 1998, yaitu mampu merobohkan pagar DPR, membakar kerucut pembatas jalan, melempari polisi dengan botol plastik bekas, serta batu, menyemprot mobil polisi dengan cat, dan membakar mobil plat merah, hingga melibatkan anak 12 tahun dalam aksi anarkis ini. Sungguh prestasi anarkis yang luar biasa, sulit dibayangkan dengan kekuatan yang hanya 0,5 % mampu melakukan hal yang sama. Apalagi mereka mengatakan bahwa aksi ini adalah aksi pendahuluan. Lalu orang awam akan dibuat berpikir, jika yang demikian baru intronya, nah kalau sudah masuk ke syair lagu akan jadi seperti apa ?

Setelah hampir 63 tahun Republik Indonesia merdeka, ternyata belum mampu menghasilkan apa-apa, dalam hal membangun jiwa rakyatnya. Mengapa demikian? Salah siapa ? Kita memang cenderung akan selalu mencari kambing hitam, padahal selayaknya kita harus melakukan refleksi bersama-sama.

Aksi yang mengatasnamakan mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta itu, apakah benar merupakan keinginan mahasiswa ? Ada baiknya kita tetap pada koridor umum, bahwa siapapun itu, aksi ini adalah aksi sebagian rakyat Indonesia yang tidak puas dengan kondisi yang ada. Kondisi yang kian menyulitkan hidup mereka ini, dipicu oleh beberapa kebijakan Penguasa.


Sebaiknya kita memillih kata Penguasa, karena tidak semua jajaran Pemerintah adalah yang berkuasa, dan sepaham dengan kebijakan yang kian menyulitkan rakyat tersebut, bahkan sebagian dari mereka juga tersudutkan. Kebijakan yang paling memicu demo di beberapa tempat di Indonesia adalah "Kenaikan Harga BBM". Dimana dengan alasan kenaikan harga minyak dunia maka Penguasa terpaksa menaikkan harga BBM di negara ini, dan demi menyelamatkan APBN, bukan menyelamatkan rakyat, maka mereka harus tega melakukan hal ini. Padahal kita tahu harga minyak dunia sekarang sudah turun lagi, bahkan Raja dari Arab Saudi menyatakan bahwa mereka telah menurunkan harga minyak, dan mengalami laba yang cukup besar, hingga mampu menyisihkan dana tersebut, serta berkomitmen melalui The World Bank untuk membantu negara-negara miskin dan berkembang. Itu artinya jika di negara tersebut terdapat sumber minyak, sudah selayaknya negara tersebut mengalami laba yang cukup besar. Walau tidak sehebat Arab Saudi dalam kepemilikan minyak bumi, namun Indonesia adalah juga negara penghasil minyak. Menurut pakar ekonomi Kwik Kian Gie, sebagaimana paparannya di http://www.koran.com/ dan berbagai media elektronik, bahwa sebenarnya negara sudah untung, dan tidak perlu menaikkan harga BBM dalam negeri.

Penguasa sudah meng-counter pernyataan Pak Kwik tersebut melalui berbagai media eletronik, namun counter tersebut masih terdengar tidak bijaksana. Terlebih pernyataan Bapak Wapres yang mengatakan bahwa "jika menentang kenaikan harga BBM, berarti membela orang kaya". Pernyataan inilah yang menyakitkan hati rakyat yang secara nyata mengalami tekanan dari kenaikan harga BBM. Bukan hanya harga minyak yang mahal, namun juga effek domino yang sangat luar biasa, dari mulai harga sayur-mayur yang melonjak, harga susu yang kian tak terjangkau, harga pupuk yang membuat pusing, hingga harga kebutuhan lain yang menjadikan mereka tambah frustasi. Terlebih lagi karena pendapatan mereka tidak mengalami kenaikan,bahkan beberapa jenis mata pencaharian pendapatannya menurun, akibat kenaikan harga BBM, sebagai contoh tukang ojek, pengemudi taksi, nelayan dan masih banyak lagi. Kesulitan hidup menjadikan mereka tertekan, walaupun Penguasa berupaya meredam melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT), namun apalah arti sekian ratus ribu rupiah, dibandingkan dengan ketidakjelasan masa depan ? Yang ada di benak mereka adalah ketakutan akan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sangat kontradiktif dengan benak Penguasa yang lebih berisikan kestabilan, dan jenjang kekuasaan serta kelanggengan dan pengembangan usaha, yang berujung pada kelimpahan materi hingga sekian turunannya.

Rakyat adalah insan yang hidup, punya karakter yang beragam. Ada yang bersifat lembut, lebih banyak menahan dan tidak kontra secara langsung, hingga lebih memilih bersikap diam pada posisi aman. Namun ada juga yang sebaliknya, langsung melawan dan nekad dengan berbagai resikonya. Karakter yang kedua ini, yang memicu aksi-aksi di beberapa tempat, hingga sebagai pelampiasan emosi mereka cenderung bersikap anarkis. Awalnya mereka hanya teriak-teriak dengan toak, sambil membawa spanduk dan membacakan puisi, yang berisikan berbagai tuntutan dan teguran mereka kepada penguasa. Lalu karena tidak diacuhkan, dan tetap dianggap sebagai eleman yang remeh, maka emosi menjadi mudah tersulut. Jika emosi ada di garis depan, sebuah aksi menjadi sangat ngawur alias anarkis.

Selama ini rakyat tahunya yang berbaju coklat (Polisi dan PNS) adalah representatif Penguasa, padahal sejak amandemen UUD 1945 disahkan pada tahun 2002, dan sejak era SBY sebagai Presiden pertama dengan pemilihan langsung, yang diikuti dengan pemilihan langsung beberapa kepala daerah, maka yang namanya penguasa adalah penguasa dan yang namanya polisi dan PNS hanyalah aparat yang berkewajiban mengamankan dan menjaga kestabilan kondisi negara siapapun Penguasanya. Posisi Menteri sebagai elemen Penguasa yang memimpin Departemen tidak semua berasal dari unsur PNS dan Polisi. Penguasa sekarang pada mulanya adalah representatif sebuah partai politik, yang dinilai baik dan dipilih langsung olah rakyat untuk berkuasa. Jadi sebenarnya tidak ada kepastian tentang kesamaan pandangan antara Penguasa dengan aparat. Namun faktor kewajiban sebagai penjaga kestabilan negara menjadikan Polisi dan PNS cenderung tunduk pada kebijakan Penguasa. Jika rakyat cukup dewasa dalam berpolitik, maka mereka tidak akan kontra secara langsung dengan kedua elemen ini, namun justru menyadarkan Polisi dan PNS untuk bersama-sama menyadari posisi mereka yang sebenarnya, yaitu mereka adalah abdi negara, abdi rakyat, bukan abdi Penguasa yang hanya wajib cari muka di depan Penguasa, alias ABS. Walaupun tidak semua aparat yang punya mobil BS atau BP seperti itu.

Entah karena keyakinan bahwa pengguna Innova B 1019 PQ adalah juga seorang aparat yang ABS, atau hanya sekedar emosi, maka pada kerusuhan semalam mobil tersebut telah habis dibakar para demonstran. Padahal bagi orang yang tahu, ini merugikan rakyat sendiri, karena mobil tersebut adalah milik negara dan dibeli dengan uang rakyat untuk operasional pegawai di pemerintahan. Jika mau menohok pelaku atau Pejabat yang membuat kebijakan yang arogan, seharusnya yang menjadi incaran adalah mobil pejabat dengan kode nomor BS (pejabat PNS) atau BP (penjabat kepolisian), dengan plat hitam. Mobil-mobil itulah yang dibeli dengan uang pribadi mereka yang kadang memang didapatkan dengan pola ABS.

Jiwa yang tidak terbangun menjadikan pola anarkis sebagai penyelesaian akhir terhadap apapun yang dihadapi, terkait dengan upaya menentang kebijakan penguasa. Dan jiwa serta pengetahuan yang kurang utuh menjadikan sebuah pola kekerasan tersebut, sebagai modus yang harus ditularkan kepada anak usia sekolah. Diantara para pelaku demo adalah anak 12 tahun, dan diantara sekian juta rakyat Indonesia adalah usia pra sekolah, yang telah menjadi terbiasa melihat aksi baku hantam, dan bakar-membakar sebagai budaya yang ditransfer melalui berbagai media. Bagi sebagian rakyat yang pro pedemo seolah mereka menjelaskan "Begitulah cara mengemukakan pendapat yang bersebrangan dengan Penguasa", dan sebaliknya bagi para Penguasa "Begitu jugalah cara memperlakukan rakyat, yang tidak bisa menurut, diamkan saja sampai mereka lelah, dan sesekali beri mereka permainan agar reda sebentar, bisa kasus konflik agama atau tontonan olahraga", sedangkan bagi para PNS dan Polisi seolah mereka memperjelas bahwa "Kami hanya pelaksana harian, kami harus mematuhi Penguasa agar kita bisa hidup damai, walau kita tetap sulit memenuhi kebutuhan hidup, kalian mau bakar mobil kantor silakan, karena kami pribadipun tidak mengalami kerugian". Dari semua aksi anarkis ini yang sebenarnya dirugikan adalah rakyat, bukan siapa-siapa. Sebagian harta rakyat hangus, nama mahasiswa sebagai representatif rakyat rusak, dan anak-anak usia dini dan sekolah telah dikoyak jiwanya.

Saat ini kunci keberhasilan memperjuangan nasib rakyat ada pada aparat, yang sebenarnya bertugas sebagai abdi masyarakat, bukan abdi Penguasa. Sehingga jika Penguasa sudah menetapkan kebijakan yang dzolim, maka ini harus dihentikan, bukan semakin diladeni dan dilapangkan jalannya. Penghentian ini dapat dengan berbagai cara yang santun dan tidak anarkis. Tidak semua kemauan Penguasa wajib dituruti oleh aparat, dan ini dapat sukses dilakukan jika semua aparat kompak. Bukan sebagian menentang dan sebagian lagi menelikung yang lain. Jika PNS dan polisi secara nyata dapat menunjukkan bahwa mereka berada di pihak rakyat, maka tak akan ada lagi mobil dinas polisi dan plat merah jadi sasaran amuk massa, hingga anak-anak Bangsa ini tidak lagi melihat aksi anarkis yang brutal dan tak terarah. Tapi benar-benar melihat sebuah upaya memperjuangkan hak rakyat dengan nyata, dengan alasan dan arah yang jelas.

Sebuah kejelasan masa depan memang sedang dipertaruhkan, dan PNS serta Polisi menjadi elemen barrier antara Penguasa dan Rakyat. Mau berpihak kemana mereka ? Keputusan ada di tangan mereka, jika mereka tahu bahwa negara ini milik rakyat tentu mereka paham harus kemana.

Jakarta, 25 Juni 2008
Ketika arogansi Penguasa kian berkobar.

Selasa, 10 Juni 2008

Gizi Buruk sebagai Realitas Wajah Negeri ini

Padamu negeri kami berjanji,
Padamu negeri kami berbakti
Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami....



Bait lagu Padamu Negeri ini, akan dapat mengingatkan kita pada kecintaan dan tanggung-jawab kita sebagai anak negeri ini. Salahsatu kewajiban kita sebagai generasi sekarang
adalah mempersiapkan generasi yang akan datang, tidak hanya dari aspek produksi alias "memproduksi anak", namun juga merawat, membimbing dan menjadikan anak tersebut menjadi siap sebagai kader penerus Bangsa, yang kelak akan juga mengemban kewajiban sebagaimana tersurat dan tersirat pada lagu Padamu Negeri tadi. Mereka akan memegang tongkat estafet kepemimpinan dan kendali negeri ini, karena terpeliharanya suatu Bangsa
dan Negara dengan baik, tergantung pada bagaimana terpeliharanya Generasi Penerus Bangsa.

Jika kita ingin mempersiapkan penerus bangsa, maka kita sendiripun harus siap dan cukup mumpuni untuk mengasuh dan membimbing mereka, bahkan mampu menjadi suri tauladan bagi mereka. Darma bakti yang nyata pada Ibu Pertiwi, bukan karena kita berhasil menjadi Professor atau Jenderal dengan beribu bintang, tapi mampu menjadikan gelar tersebut sebagai alat untuk membentuk dan menularkan hal yang positif kepada penerus Bangsa, baik anak kandung kita sendiri, saudara dekat, anak pembantu, atau anak orang lain yang kelak akan menjadi penerus Bangsa ini. Untuk apa kita menjadi orang besar atau bahkan seorang Presiden sekalipun, jika tak mampu menjadikan anak bangsa sebagai "anak yang penuh ion positif" (sehat, berbakat, cerdas, terampil, mumpuni,taqwa kepada Tuhan YME - apapun agamanya, dan berbudi luhur, serta bersemangat), atau bahkan kian meratakan korupsi hingga karakter "preman" pun dapat melekat pada anak-anak sejak usia dini. Bahkan jika kita tetap tidak memperbaiki sistem yang ada, walaupun telah banyak fakta kian meningkatnya jumlah anak dengan gizi buruk atau bahkan sudah berstatus busung lapar (kwashiokor). Inikah yang disebut "Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami" ?


Ini adalah fakta negeri ini, tepatnya dari desa Ilomangga, Gorontalo. Anak kecil ini bernama Rasya Pomile, umurnya 1 tahun 2 bulan, beratnya hanya 7,5 kg, walaupun ketika lahir beratnya 3,6 kg. Kondisinya sangat mengenaskan karena selain berat badan kurang, Rasya belum mampu duduk dengan tegak, apalagi berdiri, tubuhnya lemas, dan sangat mudah rewel. Selain itu adanya benjolan di kaki kanannya menjadikan Rasya tidak leluasa bergerak. Dia tinggal dengan Ibu, Ayah dan Kakek serta Neneknya. Mereka sangat miskin. Hingga jam 11 siang mereka belum sarapan, karena masih harus menunggu uang yang dibawa pulang oleh Kakek dan Ayah Rasya yang kerja di ladang. Saat ini ibu Rasya berumur 17 tahun. Pada usia 16 tahun ia sudah mempunyai 2 orang anak (Rasya dan Kakaknya yang baru saja meninggal pada usia 3 tahun, karena sakit-sakitan). Nama Si Ibu muda ini adalah Iwin Puyo. Terlihat pada foto di atas (Iwin yang duduk di sisi belakang), dari wajahnya nampak Iwin menderita anemia, karena selain matanya cekung, juga tampak kantung mata yang berwarna gelap. Sebagai seorang ibu Iwin sepertinya belum siap, karena masih terlalu muda, belum cukup dewasa untuk bersikap sebagai orangtua. Menurut cerita para tetangganya, Iwin sangat sulit diajak ke posyandu, karena takut anaknya disuntik lalu jadi panas. Ia bahkan sempat lari dari Posyandu ketika giliran Rasya imunisasi DPT. Kesadaran Iwin yang kurang menjadikan Rasya hanya menerima vaksin polio dan BCG, dan tak pernah diberikan vaksin DPT atau yang lain karena takut menjadi panas. Kini Iwin tak pernah lagi membawa Rasya ke Posyandu. Nenek Rasya mengaku tidak pernah menasehati Iwin, karena diapun tidak paham tentang "masalah kesehatan jaman sekarang", demikian pengakuannya. Yang mengerikan lagi, karena Rasya mudah sekali rewel, maka Iwin dan Nenek lebih memilih memberikan Rasya makanan yang ia suka rasanya, maka setiap hari Rasya mengkonsumsi "Indomie". Walau kadang ada ikan atau sayur yang dikonsumsi orang dewasa di rumah tersebut, namun Rasya tetap memilih Indomie sebagai menunya sehari-hari. Seperti sebuah nyanyian "Indomie....seleraku...".


Dari fakta di atas, salah siapa yang seperti ini ? dosa siapa yang seperti ini ? Ada baiknya kita instrospeksi bahwa itu adalah salah kita semua. Saya mungkin juga turut bersalah karena tidak mampu berbuat banyak. Kisah-kisah seperti Rasya memang sangat banyak dan menyebar di negeri ini. Jika kita telusuri sebenarnya akan menjadi sangat baik, jika gotong-royong dan semangat "Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami" alias nasionalisme dihidupkan kembali di semua lini di negeri ini. Sehingga jika ada yang belum paham tentang kesehatan, dan membahayakan kondisi generasi penerus bangsa, maka yang lain akan peduli, membantu, menyadarkan. Bila perlu Aparat Desa turun tangan untuk membantu langsung kasus khusus seperti ini. Yang memprihatinkan pada kasus Rasya adalah sikap Sekretaris Desa yang tidak langsung menanggani dan membawa Rasya ke Puskesmas, namun justru menyarankan untuk bersabar hingga ada pendataan Askeskin yang baru. Sementara Kader Posyandu pun tidak memahami bahwa kondisi seperti Rasya masuk dalam kondisi rawan dan harus segera ditanggani dengan baik.


Kasus Rasya merupakan salahsatu cerminan, adanya permasalahan utama, yaitu kebiasaan menikah muda di daerah tersebut. Bukan hanya orangtua Rasya yang menikah muda namun juga orangtua yang lain. Hingga ada yang usia anak bungsunya yang sama dengan usia cucunya. Karena anaknya menikah muda dan diapun masih terus "memproduksi anak". Jika menikah muda tentunya belum ada kesadaran yang memadai tentang bagaimana harus bersikap sebagai orangtua, yang harus membujuk anaknya jika tidak mau makan makanan yang sehat, dan harus tetap membawa anaknya untuk divaksin, walau anak tersebut akan menjadi rewel sehari semalam karena panas, inipun sebenarnya tidak akan terlalu merepotkan karena Bidan atau Dokter biasanya telah memberikan obat penurun panas, yang dapat diberikan jika si anak panas.


Kebersamaan di desa dan peningkatan kesadaran, kepedulian dan kemampuan setiap kader dan aparat desa harus dilakukan secara terus menerus. Ibarat tanaman harus dipupuk, disiangi dan disiram secara rutin. Sehingga mereka dapat peka dan peduli dengan masyarakat, benar-benar menjadi pamong praja dan tempat bertanya bagi masyarakat. Dan akhirnya masyarakat dapat merasa diayomi, dan diberikan wawasan hidup hingga mereka dapat merangkai sendiri hari depan mereka, serta membentuk penerus Bangsa yang menjadi tanggung-jawab mereka dengan baik.


Jika kita runut, kurangnya kepedulian masyarakat pada aspek kesehatan, khususnya terkait dengan tanggung-jawab terhadap nasib generasi penerus, adalah karena ketidaktahuan mereka. Sehingga "Pendidikan Kesehatan Masyarakat" dan "Pendidikan Kebangsaan" harus diberikan sejak dini. Selain kita menanggani jangka pendek dengan memberikan makanan tambahan, penyuluhan dan mengalakkan posyandu, penangganan jangka panjang juga mutlak dilakukan. Pendidikan tentang 2 hal yang masih kurang, yaitu pemahaman tentang kesehatan bagi kehidupan dan pemahaman generasi penerus sebagai kader bangsa merupakan salahsatu solusi jangka panjang tersebut. Karena kita tidak menghendaki negeri ini akan terus menerus dilanda ketidaktahuan dan hanya mampu menyelesaikan di sisi tepi atau kulitnya saja. Semoga secuil kisah ini mampu memberikan semangat bagi kita semua agar tetap yakin untuk berbuat sebagaimana "Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami".



Jakarta 10 Juni 2008, disaat negeri ini tidak hanya butuh kata cinta, tapi benar-benar perilaku yang penuh cinta.

Lencana Facebook