Kamis, 01 Januari 2009

MUNAJAT DAN IKHTIAR UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK


Suara terompet saling bersahutan, ditingkahi letupan kembang api berjejalan di langit Jakarta, menandai pergantian tahun 2008 menjadi 2009, di tepat pukul 00 WIB. Ibukota Indonesia mendadak riuh sejenak, lalu kemudian perlahan kembali senyap. Kota menjadi tertidur hingga lewat waktu subuh, karena menjelang subuh penduduknya baru saja berangkat ke peraduan. Demikian juga kiranya suasana pada banyak tempat di seluruh penjuru bumi.

Sukacita pergantian tahun, perhitungan yang kembali dimulai dari bulan satu, tanggal satu, jam satu, menit pertama, detik pertama, yang akan kembali berulang terus hingga beralih generasi dengan ritual yang berbeda. Namun apakah pergantian tahun hanya cukup dirayakan dengan kembang api, aneka makanan ala barbeque ? Apakah cukup hanya dengan ucapan tahun baru, dan sejumput doa keselamatan dan kemurahan perlindungan serta rejeki kepada Tuhan untuk masa depan ? Apakah kita perlu menoleh sedikit ke belakang , sebelum kita kembali mulai melangkah maju ke depan. Sejarah telah tertoreh hingga angka 2008 berakhir, namun kita perlu melihatnya kembali, membuka album untuk berkaca dan berinstrospeksi, agar kita sadari dan pahami untuk apa sebenarnya hidup kita ini, dan bagaimana kita sebaiknya melangkah untuk mencapai tujuan.

Bicara tentang pergantianwaktu, maka kita terhubung dengan regenerasi, karena tidak ada makhluk satupun makhluk di bumi iniyang mampu menunggui bumi sepanjang umur bumi, semua pasti mati dan menyerahkan tongkat estafet ke generasi berikutnya. Bumi diserahkan Tuhan kepada semua makhluk Nya yang hidup di bumi untuk dikelola dan dinikmati bersama. Tuhan memberikan kekuatan berbudi dan berakal kepada manusia melebihi makhluk Nya yang lain. Itu artinya manusia dipercaya Tuhan sebagai leader diantara semua makhluk Nya di bumi ini untuk pengelolaan bersama. Dan kekuatan hidup lain yang dapat menandingi manusia, namun tak tampak mampu bicara secara verbal, serta mendengar dengan daun telinga, adalah ALAM. Ya...alam diciptakan Tuhan sebagai media hidup, sumber pemenuhan kebutuhan semua makhluk ciptaan Nya. Alam diciptakan untuk mampu memberi, tanpa mampu menolak untuk memberi dan menerima berbagai perlakuan manusia dan makhluk Tuhan lainnya.

Saat ini, ketika alam sebagai ruang hidup, semua permukaan tanah ditutup dan diberi perkerasan, hingga tak pernah lagi bersentuhan langsung dengan air hujan. Seolah alam memang tidak pernah protes. Tidak akan alam menolak, lalu serta merta melontarkan kembali aspal-aspal panas ke wajah para pekerja yang mengaspal tanah tersebut. Tanah tetap diam, walau kemudian setelah tak pernah bersentuhan dengan air hujan pun, tanah juga ditindih berton-ton beban kendaraan mulai dari motor hingga kontainer yang luar biasa beratnya selama berjam-jam. Hanya ketika manusia sudah hampir semuanya tertidur, tanah sedikit bisa merasa ringan, karena tidak ada lagi kemacetan ataupun kendaraan hilir mudik yang melindasnya. Padahal jika tanah dibiarkan bersentuhan langsung dengan air hujan, maka kita pun dapat merasakan, bahwa tanah juga mampu berinteraksi. Perubahan kimia yang terjadi jika tanah bertemu dengan air hujan. "Hm... bau tanah nih, enak, segar, barusan hujan ya, disini ?" komentar yang sering kita dengar. Segar yang kita rasakan merupakan ion positif yang muncul karena tanah bahagia bertemu dengan air hujan. Ibarat kita mencuci muka, atau mandi, maka tanah pun sebenarnya ingin selalu tersentuh air secara periodik dan apa adanya (natural). Bayangkan jika tanah justru bersentuhan dengan aspal panas sepanjang hari, atau ditumpangi keramik masif untuk selamanya. Mungkin saja tanah menangis, dan kita tak pernah tahu karena juga tidak pernah mendengar.


Kegundahan alam seperti ini yang tidak pernah manusia rasakan dan pahami, hingga menganggap semua bukan masalah. Semua mungkin juga karena alam tidak pernah mengomel, membentak, bahkan meludahi manusia, meskipun diperlakukan tnapa perasaan, bahkan dieksplorasi habis-habisan. Alam tetaplah alam yang dikodratkan untuk melayani kebutuhan, dan nafsu makhluk hidup ciptaan Tuhan, terutama manusia.

Dengan umur bumi yang melebihi 2008 tahun, merupakan umur yang sangat-sangat tua. Itu berarti kita sebagai manusia hendaknya menoleh ke belakang, apakah kita sudah bersikap cukup arif dalam berbagi kehidupan dengan makhluk Tuhan yang lain, beserta alam yang selama ini telah menyediakan sumberdaya dan ruang untuk tempat hidup di bumi ini ?

Kembali lagi kepada alam, maka jika kita menoleh ke belakang, kita telah berkali-kali melihat bencana alam. Bencana untuk manusia dan makhluk Tuhan lainnya, karena kemarahan alam. Hal sebenarnya adalah akibat dari ulah manusia sendiri, yang telah sekian ratus tahun tak pernah memahami pentingnya mengelola bumi ini, dengan budi dan akal, artinya tidak tidak hanya sekedar logika keuntungan semata, namun juga perasaan terhadap sesama manusia, makhluk hidup lainnya serta alam itu sendiri.

Manusia hendaknya menyadari bahwa kecanggihan otaknya mampu menjadikan bumi makin indah, namun juga sebaliknya mampu menjadikan bumi makin hancur. Sikap konstruktif dan destruktif manusia memang sangat tinggi. Hal ini adalah dampak adanya kemampuan budi dan akal yang besar. Yang jika tidak diaktifkan secara seimbang, maka akan sangat berbahaya. Jika yang muncul dominan adalah budi tanpa akal, maka manusia akan kurang memiliki kekuatan dalam pemenuhan kebutuhannya secara nyata. Tetapi jika yang muncul sangat dominan adalah akal tanpa budi, maka manusia akan menjadi makhluk destroyer paling kejam di muka bumi.Seperti kita lihat sekarang kondisi di Gaza, Timur Tengah. Dimana pemimpin dan pasukan Israel menjadi destroyer paling berbahaya di muka bumi. Di sana sesama manusia dan makhluk hidup diperpendek umurnya, dan yang tetap hidup disiksa hidupnya, sementara alam dibumihanguskan, semua "hitam kelam" dan hancur diselimuti berlapis-lapis sakit dan tangisan.

Dengan adanya kombinasi yang seimbang antara budi dan akal, maka manusia akan seimbang mempergunakan akal dan perasaannya. Keseimbangan ini mampu menenangkan hidupnya, hingga manusia mampu berpikir jernih, ingat akan kekuatan Sang Khalik yang mengatur hidupnya, melebihi kemampuan dirinya sendiri. Sang Khalik lah yang tahu berapa daya masing-masing manusia, dan tahu pada titik waktu mana daya tersebut akan benar-benar habis, hingga untuk menghirup oksigen pun manusia itu sudah tak mungkin mampu. Walaupun manusia punya kekuatan, tapi masih dalam kendali Tuhan. Dia lah yang memberikan battery daya di setiap tubuh makhluk hidupnya, agar makhluk tersebut mampu hidup di bumi. Namun tidak ada battery tanpa batas daya, oleh karena itu kita sadari bersama bahwa Tuhan Maha Kuasa atas semua kehidupan di alam semesta, hingga semesta lainnya.

Kembali jika kita menengok ke belakang, pentinglah kita sadari bahwa alam merupakan ciptaan Tuhan yang ditakdirkan untuk melayani makhluk hidup dengan memberi daya dan ruang, serta memiliki kesabaran yang luar biasa dalam melayani semua nakhluk hidup di bumi, terutama melayani manusia. Namun kita harus pula menyadari bahwa tidak ada kesabaran yang tanpa batas. Semua yang "ter..." adalah milik Tuhan sebagai Sang Pencipta. Sehingga alam juga pasti punya batas sabar. Kemarahan alam tidak pernah tanpa sebab, karena alam sangatlah sabar. Tapi kesabaran alam yang diterjang batasnya akan menimbulkan akibat yang sangat luar biasa bagi kehidupan semua makhluk Tuhan, terutama manusia. Kemarahan adalah suatu upaya untuk tidak lagi melayani dalam bentuk apapun, atau bahakan sebaliknya, yaitu menjadi menhina atau menyakiti sesuatu yang selama ini selalu dilayani dan disuguhi kenikmatan. Demikian juga alam, yang akan menerjang manusia dengan cara apapun, dan sangat menyakitkan, sikap alam yang sabar melayani hidup manusia menajadi berubah seratus delapan puluh derajat.

Andai alam dapat marah seketika, maka para perusaka akan segera menghentikan aksinya. Namun karena alam sangat sabar, bisa jadi kemarahannya justru akan menimpa orang-orang yang kita sayangi yang masih hidup di bumi, di kala kita yang selama ini merusak alam, sudah pergi meninggalkan kehidupan di bumi. Bayangkan kalau kita melihat orang-orang yang kita sayangi dilanda kemarahan alam, tanpa kita sanggup berbuat apapun untuk menolong mereka. Padahal seharusnya yang menerima kemarahan alam adalah kita, yang telah memulai untuk menindasnya. Akan menanggiskah kita meraung-raung di sana ? Apakah tangisan tersebut mampu mengubah keadaan di bumi ? Apakah alam akan mendengar kita menangis, lalu berhenti marah ? Hanya Tuhan yang tahu. Tapi yang pasti anak cucu kita hanya meneruskan apa yang sudah kita lakukan selama ini. Kita yang tidak pernah mengajari mereka untuk menghargai, apalagi mensejahterakan sesama manusia, makhluk lain dan alam. Di dalam pikiran anak cucu kita, tanah harus diaspal supaya manusia seagai pengguna jalan dapat berjalan lebih nyaman. Mereka tidak salah, karena mereka belajar hidup dari kita, yang terlahir lebih dahulu di bumi. Sejatinya, kasih sayang antar manusia yang tulus adalah segala daya upaya, untuk menjadikan orang yang dikasihi dapat hidup sejahtera, mandiri dan menjadi mahkluk Tuhan yang mulia. Ini semua kewajiban kita sebagai orang yang lebih dulu terlahir, kepada para penerus di sekeliling kita.


Kesadaran akan memahami alam dan kehidupan makhluk hidup lainnya, sangat penting kita tularkan kepada generasi yang akan datang. Hidup baik tidak ada yang tanpa aturan. Semua memiliki aturan tertulis dan tidak tertulis. Semua yang mengarah kepada keseimbangan adalah upaya menepis maunya sendiri-sendiri, semua harus tahu diri dan tidak ada yang egois, mau menang sendiri.

Tuhan menuntun manusia berbuat kebajikan melalui banyak agama dan keyakinan. Hidup di bumi adalah pengabdian manusia kepada Tuhan untuk memelihara seluruh ciptaan Nya di bumi. Pengabdian akan berhasil baik, jika manusia mampu mensejahterakan sesamanya, makhluk lainnya serta alam di sekitarnya. Hingga Tuhan akan tersenyum dan senantiasa memberikan kasih sayang yang luar biasa kepada umat Nya. Mari sobat, kita melangkah di hitungang baru ini dengan berbuat baik, menularkan kebajikan hidup kepada penerus kita. Janganlah menjadi umt yang tak pernah menerima senyum Tuhan, karena kita tak akan pernah mendengar bunyi alarm, jika daya battery kita masing-masing sudah menipis. Tanpa kita sadari, tiba-tiba daya battery kita masing-masing sudah benar-benar habis, tanpa kita sempat berpamitan dan berpesan satu huruf pun kepada generasi penerus kita. Janganlah kita pernah menjadi orang yang merugi di detik akhir kehidupan kita. Mari kita memulai menjadi umat Tuhan yang bermartabat, tidak egois dan mampu menjadikan bumi ini tetap aman, layak dan nyaman sebagai ruang hidup dan ruang bersanding semua makhluk Tuhan, khususnya sebagai tempat manusia berkarya dan mengukir sejarah masa hidupnya.

Jakarta, 1 Januari 2009 Ketika harapan harmonisasi kehidupan mulai dirajut dengan warna yang lebih cerah dan bermakna

Lencana Facebook