Kamis, 24 April 2008

Ketika Menjadi Tamu di "Rumah Allah"

Alhamdulillah, Kami (Aku dan Suamiku tercinta) telah
menyelesaikan ibadah umroh dengan lancar dan selamat.
Perjalanan ibadah ini memang luar biasa indah dan nikmat. Betapa tidak menjadi nikmat, jika kita merasa begitu dekat dan lekat dengan Sang Khalik, yang Maha Tahu dan Maha Dekat dengan diri kita, dibandingkan dengan diri kita sendiri.



Ini adalah foto kami (aku dan Mas Yoyok - Suamiku tercinta) beserta para Ibu yang ada di rombongan kami. Dari kiri ke kanan : Mas Yoyok, Ibu Seman - yang telah bermurah hati mengajak kami menjadi "Tamu Allah", Aku, Ibu Cahyo dan Ibu Giyono.

Berawal dari perjalanan panjang yang ditempuh selama 9 jam di udara. Rasa jenuh dan lelah di setiap engsel tubuhku, aku redam dengan membaca beberapa bait doa, membaca buku "Haji" - pemberian dari seorang sahabat - yang sangat membantu untuk fokus bersiap diri sebagai "Tamu di Rumah Allah", atau mondar-mandir ke dapur pesawat - sekedar membuat teh sembari ngobrol dengan para pramugari, yang rata-rata cukup supel dan baik hati, atau juga berdzikir hingga tertidur.

Adzan Maghrib berkumandang menjelang kami tiba di Jeddah, bergegas kami bertayamum dan menunaikan sholat Maghrib. Pesawat Garuda yang kami tumpangi pun mendarat sangat mulus dan nyaman di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah tepat pukul 19.50. Hari itu adalah Hari Jumat tanggal 11 April 2008, kami pun langsung meluncur ke Madinah, yang punya waktu tempuh sekitar 6 jam dari Jeddah. Bis yang membawa kami ternyata cukup nyaman, bersih dan supirnya pun cukup tenang mengendalikannya, sehingga tak lama setelah menikmati makan malam di dalam bis, kami langsung terlelap "di alam 1001 malam".

Bis tiba di Madinah tepat pk. 02.30, hari Sabtu tanggal 12 April 2008. Indahnya Madinah membuat semua pegal-pegal menjadi terlupakan. Ada aura tersendiri ketika memasuki Madinah, terutama saat memandang pintu masuk Mesjid Nabawi yang sangat megah dari kejauhan.

Masyarakat Madinah umumnya bekerja sebagai pedagang, dan bersifat penyayang. Mereka lebih halus dibandingkan masyarakat suku Quraisy di Mekkah, yang jago perang. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah ketika kalah berperang melawan orang kafir di Jabal Uhud, mayoritas korban dari pihak kaum muslim berasal dari Madinah.

Namun dalam hal berdagang orang Madinah sangat lihai. Jika kita ingin berbelanja oleh-oleh, atau souvenir dan kebutuhan harian selama di Saudi dengan harga miring, ya... di Madinah ini. Setelah ku telusuri, ternyata memang benar. Harga coklat dan kurma di Madinah selisih lebih murah hampir 12 riyals dibandingkan dengan di Mekkah dan Jeddah.

Di Madinah terdapat Mesjid Nabawi yang dibangun oleh Junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang sangat megah dan luas. Beliau pun dimakamkan di dalam mesjid tersebut. Di sekitar makam Rasul itulah merupakan tempat yang mustajab untuk berdoa, memohon sesuatu kepada Allah SWT, tempat itu dinamakan Raudah. "Barangsiapa yang sholat dan berdoa di Raudah, maka doa-doanya tidak akan ditolak oleh Allah SWT", demikian mustajabnya Raudah, sehingga siapapun yang berkunjung ke Mesjid Nabawi, maka pasti akan berupaya untuk sholat dan berdoa di Raudah. Tempat mustajab ini memang terlihat berbeda dengan sekitarnya, karena karpet dan langit-langit Raudah warnanya dibedakan, detailnya lebih rumit dan penuh warna.

Jamaah Perempuan hanya diperkenankan untuk mengunjungi Raudah pada pk. 08.00 - 11.00 WAS (Waktu Arab Saudi) dan pk. 20.00 - 23.00 WAS. Sehingga ketika pintu masuk menuju Raudah dibuka pada jam tersebut, maka jamaah yang masuk sangat berjejal. Biasanya Jamaah dipisahkan antara yang berbahasa Arab (Turki,Iran dan Mesir), dengan yang berbahasa Melayu (Indonesia, Malaysia dan Brunei). Jamaah yang masuk lebih dahulu adalah dari Turki, Iran, Mesir dan sekitarnya, kemudian terakhir jamaah dari Indonesia, Malaysia dan Brunei.

Terdapat pengalaman menarik ketika aku masuk ke Raudah yang demikian sesak, karena sebagian jamaah akan masuk dan sebagian akan keluar, saling desak dan dorong menjadi sesuatu yang harus dialami di sini. Akupun masuk dengan berdesak-desakan, dihimpit dari kanan, kiri, didorong dari depan dan belakang. Tapi aku ikhlas dan hanya punya niat untuk sholat dan berdoa. Tiba-tiba ketika melihat diriku, para Askar "Penjaga Raudah" pun menyuruh aku untuk sholat, tapi bagaimana aku dapat sholat, jika untuk berdiripun aku sudah terhimpit ? Ternyata Subhanallah..., berkat ridho-Nya aku disapa oleh seorang Ibu, yang katanya berasal dari Jawa Barat. Ibu tersebut bertanya "Apa Ibu sudah sholat ?" saya jawab "belum", lalu kembali dia bertanya "Ibu mau sholat?" saya jawab "Iya". Kemudian ia menawarkan diri "Silakan Ibu sholat, saya akan jaga Ibu", dan sekali lagi Subhanallah.... Ibu tersebut langsung berbicara dalam bahasa Arab kepada orang-orang disekitarku, dan mereka minggir hingga aku punya cukup ruang untuk sholat multak 2 rakaat dengan tenang. Seusai sholat, aku pun menawarkan diri untuk bergantian dengan Ibu tersebut, untuk menjaganya agar ia dapat juga melakukan sholat. Alhamdulillah... aku diberi banyak kemudahan di tempat mustajab ini. Jika tak ada Ibu tadi, mana mungkin aku bisa punya ruang untuk sholat ? mana mungkin kepalaku tak terinjak ketika sholat ? Sekali lagi Alhamdulillah..... Semua karena ijin Allah SWT.

Setelah 3 hari di Madinah, dan sempat berkeliling ke beberapa tempat bersejarah, antara lain Mesjid Kuba, Mesjid Qiblatin dan Jabal Uhud. Kami pun mulai untuk melakukan Umroh yang pertama, dimulai dengan berpakaian ikhrom, dan mengambil miqot (niat), maka berangkatlah kami menuju Mekah, tepatnya menuju Masjidil Haram. Sepanjang perjalanan selama 6 jam lebih kami bertakbir, berdoa dan berdzikir hingga tertidur. Tepat pukul 22.00 WAS kami pun tiba di Mekkah. Alhamdulillah kami diperkenankan tinggal di hotel yang cukup bagus dan sangat dekat dengan Masjidil Haram, karena pintu hotel berhadapan dengan pintu 1 Masjidil Haram.

Setelah makan malam, kami pun mengambil wudhu lalu mulai melakukan Umroh. Ketika pertama kali memandang Kabah, campur aduk rasa hati ini. Subhanallah..... bangunan di depanku ini adalah Kabah, sangat berwibawa, walaupun sangat sederhana. Dimulai dengan Tawaf - mengelilingi Kabah 7 kali, sebagai bentuk keikhlasan manusia mengikuti aturan alam yang ada, dan juga menguji kita untuk berani melangkah, karena setiap saat di sekitar Kabah selalu penuh sesak dengan jamaah. Jika kita gamang untuk memulainya dan takut terinjak atau terhimpit, maka kita tak akan pernah memulai. Dilanjutkan dengan melakukan Sai (berjalan sambil berlari-lari kecil) dari bukit Safa ke bukit Marwah, sebagai bentuk keikhlasan kita melaksanakan perintah Allah, mengikuti jejak Siti Hajar ketika mencari sumber air untuk anaknya dan dirinya. Setelah putaran terakhir, yaitu putaran ke 7, kami melakukan tahalul - memotong minimal 3 helai rambut. Alhamdulillah... rangkaian ibadah Umroh yang pertama telah selesai dengan lancar, semoga ibadah kami qobul, amin....

Kemudian hari-hari kami seantiasa terisi dengan ibadah, dari mulai yang wajib hingga sunnah (dikerjakan mendapat pahala, ditinggalkan tidak apa-apa) kami jalani dengan penuh suka cita. Sekali waktu ada pengalamanku yang narik, yaitu ketika aku ingin melakukan sholat tahajjud (sholat tengah malam) di dekat Kabah. Diawali dengan sesampainya aku di tempat yang mustajab untuk memanjatkan doa (antara Hajar Aswad dan pintu Kabah), aku baru tersadar bahwa mukena yang biasanya ada di dalam tas pingangku ternyata tertinggal. Maka jadilah aku sholat tidak seperti biasanya, cukup dengan baju muslim panjang yang kukenakan. Menjelang sholat shubuh aku mudur ke belakang, dan sempat berbincang dengan seorang TKW asal Ambon, dia lah yang meyakinkan aku untuk tetap sholat tanpa gelisah hanya karena tidak mengenakan mukena seperti biasanya, karena menurut mahzab yang diyakini mayoritas orang Saudi, bahwa yang demikian adalah sah, sebab semua auratku telah tertutup rapat. Seusai sholat Shubuh, entah kenapa aku berniat kembali mendekat ke Kabah. Maka sambil bertawaf akupun mendekat seorang diri, dan ternyata aku diberikan kemudahan, kian dekat hingga aku bisa kembali mencium Kabah sambil memanjatkan doa - setelah sebelumnya aku lakukan bersama suamiku. Tiba-tiba aku dihimpit 2 orang tinggi besar, dan mereka melakukan sholat, akupun akhirnya melakukan sholat tepat di depan Kabah, setelah aku sadari bahwa aku telah terkepung manusia. Dari kejadian ini aku merasa diriku seperti diajak mendekat, dan diminta untuk sholat dengan khusyuk, tanpa memikirkan bagaimana pakaianku - karena kiri kanan dan belakangku telah menjagaku, hingga aku tak mungkin terinjak orang lain. Aku menyadari bahwa diriku hanya tamu, dan aku diminta untuk sholat dengan tata cara sebagaimana tuan rumah yakini. Subhanallah... Semoga aku tak salah memahami.Selesai sholat akupun kembali melakukan tawaf, dan tanpa terasa aku telah berada di luar lingkaran inti manusia, yang mengelilingi Kabah. Ketika di selesar mesjid - dalam perjalanan pulang ke hotel, tiba-tiba ada uang kertas yang terlipat-lipat jatuh menyentuh tubuhku. Entah datang darimana uang itu ? Kemudian aku ambil dan tanyakan ke sekelilingku, apakah uang ini adalah milik salahsatu dari mereka ? ternyata tak ada satupun yang mengaku memilikinya, maka akupun meletakkannya di bawah pilar, sambil berdoa semoga ditemukan yang berhak memilikinya, dan mengucapkan terima kasih dalam hati, sambil meyakini bahwa apa yang kumiliki sekarang sudah cukup.

Hari berganti hari, hingga tak terasa kami harus menjalani Tawaf Wada sebagai bentuk perpisahan kepada "Al Haram". Alhamdulillah.... aku bersyukur atas semua makna dan pengalaman yang aku dapat di "Rumah Allah".

Terdapat beberapa hal yang dapat aku cermati dan diambil hikmahnya bersama, yaitu :

  • Tahapan ibadah umroh dari sejak mandi ihrom, memakai baju ihrom, niat / mengambil miqot, bertawaf dan melakukan sai, hingga tahalul, semua ini menyiratkan makna hidup. Hidup ini sudah ada Yang Mengatur dan ada aturannya, sehingga kewajiban kita adalah menjalani hidup dengan mengupayakan berbuat baik, mematuhi aturan Nya, selalu ingat kepada Yang Mengatur - berdoa, agar tetap dilindungi dan menjalaninya dengan ikhlas. Dibalik aturan hidup yang harus kita patuhi tadi, terdapat ruang untuk kita berdialog dengan Sang Maha Mengatur hidup, yaitu dengan berdoa. Di dalam doa kita bisa memohon yang terbaik untuk kita. Karena sesungguhnya yang terbaik untuk kita hanya Allah yang tahu, bukan diri kita sendiri.
  • Allah SWT juga menyadarkan kita, bahwa sesama manusia kita harus saling menghormati, apapun status dan kedudukan atau fisik orang tersebut. Keberadaan Hajar Aswad di sisi Kabah, telah menyadarkan kita bahwa Allah SWT sangat menghargai umatnya, sebagaimana Siti Hajar. Walaupun Siti Hajar adalah budak perempuan dan berkulit hitam, namun Beliau merupakan satu-satunya hamba yang diperkenankan Allah, untuk dimakamkan di sisi Kabah. Inilah cara Allah sedemikian memuliakan umatnya, seorang ibu yang berasal dari budak berkulit hitam, yang dengan penuh keikhlasan mengasuh anaknya dalam kondisi serba terbatas, bahkan air pun tak ada, namun dia tetap selalu mematuhi perintah Allah. Maka ridho Allah datang pada Siti Hajar, mulai dari adanya mata air zam zam, hingga diberkati keturunannya menjadi nabi-nabi, dan dirinya dimakamkan di sisi Kabah. Saat ini para umat muslim dari berbagai penjuru dunia yang datang ke Al Haram, umumnya akan berusaha mencium pangkuannya - mencium "Hajar Aswad", yang dapat pula kita maknai bahwa kita harus hormat kepada orangtua, terutama ibu yang melahirkan kita, terlebih lagi jika ia adalah ibu yang senantiasa berupaya dan berdoa untuk setiap langkah hidup kita, seorang ibu yang mulia.
  • Nabi Muhammad SAW telah banyak berperan mensejahterakan umatnya. Jika tidak ada Beliau, niscaya jazirah Arab akan tetap menjadi tanah gersang, yang nyaris tak berpenghuni, dan sangat rawan kejahatan serta perkelahian. Mengingat karakter masyarakat Arab, khususnya Suku Quraisy sangat temperamental, berbicarapun mereka sulit sekali untuk halus, suaranya selalu keras seperti orang membentak. Beliaulah yang telah memotivasi orang untuk senantiasa ingat kepada Allah. Sebagai bentuk kendali terhadap hawa nafsu yang cenderung menyesatkan.
  • Kehadiran para Nabi menjadikan jazirah Arab, khususnya sepanjang Mekah dan Madinah sarat dengan nilai sejarah dan makna. Allah telah menunjukkan keadilan bagi negeri yang gersang ini, melalui perantaraan para Nabi tersebut, khususnya Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW, yaitu dengan menjadikan Kabah sebagai orientasi ibadah umat muslim, yang kemudian didatangi oleh para manusia muslim dari berbagai penjuru dunia guna melakukan haji dan umroh. Maka jazirah Arab mau tidak mau menjadi negeri terbuka, dapat maju dengan pesat, sekaligus mengajarkan penduduknya agar dapat selalu bersikap santun sebagai tuan rumah. Maknanya adalah dibalik semua ridho, dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah, pasti terkandung tantangan yang harus dihadapi di dalam hidup. Dibalik nikmatnya masyarakat Arab Saudi dengan keberadaan Kabah, namun terdapat tantangan untuk mampu menjadi tuan rumah dan menjaga hubungan antar negara dengan baik, serta tetap memelihara nilai-nilai sejarah yang ada.
  • Tanah Haram ibarat surga dunia, karena selama dunia masih ada, berbagai usaha pencarian rejeki di tanah ini akan tetap ada dan langgeng. Maka tak jarang orang memanfaatkan untuk membuka bisnis di Mekah - Medinah, karena sangat ideal. Sekali kita dipercaya di sini, maka bisnis itupun akan langgeng sepanjang kita dapat mempertahankan kepercayaan tersebut. Karena Tanah Haram tak pernah sepi, setiap pagi, siang, malam, tegah malam seperti tak ada beda. Tak ada waktu tidur di sana. Setiap saat orang terjaga dan beribadah.
  • Pemerintah Arab Saudi sangat memperhatikan asset negerinya, dan tahu betul Tanah Haram (sepanjang Mekah-Madinah), walau tidak diperkenankan / haram didatangi oleh non muslim, namun sangat diminati semua orang dari seluruh penjuru dunia. Maka diterapkan aturan untuk tidak memperkenankan warganegara lain untuk membuka usaha di negerinya. Sehingga banyak usahawan dari luar negeri memilih bekerjasama dengan warga Saudi, agar mendapatkan ijin usaha. Walaupun hal ini berdampak positif untuk menjaga asset dalam negeri untuk tetap dimiliki oleh penduduk asli, namun ada dampak negatifnya, yaitu warga asli Saudi Arabia menjadi cenderung malas, karena dengan mencantumkan namanya sebagai pemilik usaha dia telah mendapatkan nafkah rutin, walaupun dia tidak mengelola usaha tersebut secara langsung.

Demikianlah Sahabat sekedar oleh-oleh dari Tanah Suci yang dapat aku bagikan, semoga bermanfaat untuk kita semua.

Wassalamualikum Wr. Wb

Jakarta, April 2008. Setelah kepulanganku, saat negeri ini kian runyam.

Selasa, 01 April 2008

Semangat Membuat Hidup Jadi Lebih Hidup

Ini sebuah penggalan cerita tentang apa yang saya alami semalam, sewaktu saya membeli nasi uduk untuk makan malam. Warung nasi uduk yang satu ini memang langganan saya dan suami sejak tahun lalu. Awalnya kami under estimate dengan warung ini karena wujudnya yang sederhana, yaitu bilik tidak permanen dari kayu yang dicat putih seluas 2 x 4 meter persegi, serta letaknya yang tidak menarik untuk didatangi, yaitu di bawah pohon senggon di pinggir jalan senggol, alias jalan yang hanya cukup untuk 1 mobil 2 motor. Kalau malam suasananya pasti jadi iiihh... agak seram, karena pohon senggon yang mendominasi area tersebut. Saking seringnya kami lewat jalan senggol itu, kami akhirnya jadi tertarik buat mampir di warung tersebut. Keinginan itu dipicu, karena setiap malam orang ramai datang untuk beli nasi uduk, ada yang naik sepeda motor, sepeda ontel, dan jalan kaki, tapi yang naik mobil masih jarang, karena sulitnya parkir di area itu. Ternyata setelah kami mencicipi nasi uduk "Warung Pohon Senggon" itu akhirnya kami ketagihan, dan jadi alternatif menu makan malam kami setiap kali pulang kantor.

Setelah berkali-kali saya dan suami datang ke sana, hingga mulai terbiasa berinteraksi dengan Ibu penjual nasi uduk yang sangat sederhana, dan kental logat Jawa-nya. Ada hal yang menarik di sini, yaitu Ibu penjual nasi uduk ini selalu dibantu oleh seorang anak laki-laki, yang sangat santun dan tak pernah melawan ketika disuruh apa saja. Walau dia baru datang setelah membeli minyak atau plastik dengan bersimbah peluh, dia tetap taat ketika diperintah apapun. Sangat jarang anak seusia itu mau dengan tulus ikhlas membantu orang lain, apalagi orang secerewet Ibu penjual nasi uduk tadi. Ibu ini memang lumayan cerewet, tapi tidak pemarah, dia selalu ingin semua tertata dengan baik dan teliti dalam mengakomodir keinginan dan kebutuhan pembeli. Dari mulai sambal yang dicampur dan dipisah, ayam yang digoreng garing, atau dipotong kecil-kecil, nasi yang satu atau setengah, sampai kursi untuk pelanggan yang antri (biasanya pelanggan yang antri duduk berjejer di bawah pohon dekat warung tersebut, kalau hujan ya... sambil duduk pake payung).

Saking seringnya berkunjung ke warung tadi, saya akhirnya tahu dari Ibu Penjual Nasi Uduk tersebut bahwa anak laki-laki yang selalu membantunya adalah anaknya yang paling kecil.
"Wah senang ya Bu, punya anak yang baik seperti itu" spontan saya berucap dan disambut "Alhamdulillah" oleh Si Ibu sembari tersenyum. Akhirnya sambil menggoreng ayam pesanan pembeli, Si Ibu bercerita tentang ke empat anaknya. Anaknya semua ada 4 orang, 3 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Anak pertama dan kedua sudah sarjana, dan sudah bekerja, masing-masing di Indosat dan Pelni. Sedangkan anak ketiga masih kuliah dan anak bungsu yang selalu menemaninya masih duduk di SMA Negeri favorit di Jakarta Selatan. Aku makin terkesima dengan penuturan ibu ini. "Yah, doain aja keingginan saya terkabul ya Bu, saya ingin semua anak saya bisa mencapai sarjana dan mandiri semua" Kata Ibu Penjual Nasi Uduk sambil membungkus nasi satu persatu. Tekad seorang ibu yang penuh kesederhanaan, mengajarkan anaknya tentang human relation yang baik, tanpa banyak teori, dan menyemangati anak dengan luar biasa, melalui semangatnya dalam keseharian yang tak pernah putus.


"Wah sekolah di SMA favorit itu saingannya berat, trus kapan anaknya belajar Bu?" tanya saya karena penasaran bagaimana si anak membagi waktu dengan baik.
"Yah sepulang dari sini, setelah dagangan habis sampai di rumah trus belajar" jawab Si Ibu ringan.
Terlihat Si Ibu tidak pernah melakukan instruksi khusus tentang pembagian waktu si anak, tapi anak yang mengatur jadwalnya sendiri. Bayangkan setiap malam dagang sampai jam 21 atau 21,30 lalu pulang dan baru belajar. Hebat juga stamina si anak, kalau saya jam segitu sudah tinggal 5 watt, mana mungkin bisa konsentrasi belajar.

Belajar dari yang sederhana kadang memang luar biasa, dan kadang tidak kita sadari bahwa diantara hal yang biasa saja, ternyata ada sesuatu yang luar biasa. Dari mulai warung kecil yang tidak dianggap, menjadi tempat rujukan menu makan malam, sampai tempat untuk mengambil hikmah dan semangat, yang siapa tahu bisa menular ketika kita membutuhkannya.

Sobat itulah menu makan malamku, Nasi Uduk dengan Bumbu Semangat Seorang Ibu yang kini membuat hidupku menjadi lebih hidup.

Rinawati
Jakarta di awal April, ketika hidup butuh menjadi lebih hidup

Lencana Facebook