Minggu, 10 April 2011
ENERGI RAKYAT DAN ALUR SINETRON
Pagi ini ada hal yang sedikit mengusik diri saya. Tak lain dan tak bukan adalah tentang Pembangunan Gedung DPR MPR RI yang baru. Ada sedikit hal yang menurut orang Jawa bilang "Wagu" (ini bukan waria blagu lho...) yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya adalah tidak pas..., yaitu ketika Bapak Presiden SBY menyatakan tidak setuju dengan pembangunan gedung tersebut pada saat ini, dan Bapak Marzuki Alie justru akan tetap melanjutkan rencana ini. Keduanya dari partai yang sama, tapi keduanya punya pemikiran yang berbeda. Salahsatunya mengatakan demi kepentingan masyarakat dan agar tidak melukai hati masyarakat, sedangkan salahsatunya mengatakan ini semua sudah keputusan fraksi-fraksi. Yang satunya adalah Pemimpin Negara, yang satunya adalah Wakil Rakyat, yang sudah sepantasnya keduanya berpihak kepada rakyat. Sehingga nampak sekilas, seolah-olah di kubu Demokrat sendiri tidak solid.
Apakah hal ini tidak agak mirip dengan permasalahan di PKB yang berujung pada nasib Bu Lily Wahid dan Gus Choi ? Nampaknya tidak sama persis, ada sesuatu yang terasa berbeda, minimal ini pendapat dan kegundahan saya. Mohon maaf tentunya jika saya salah dan mungkin terlalu berprasangka, karena ketika Bu Lily Wahid dan Gus Choi berseberangan dengan partainya maka langsung ada tindakan keras terhadap mereka, seolah justru mereka adalah orang yang sudah berkhianat, padahal jelas mereka menyuarakan pendapat masyarakat yang mereka wakili (walau mungkin tidak semua) tapi minimal beda suara itu hak dan sah saja pada mekanisme demokrasi seperti ini. Tapi lalu kemudian ketika Marzuki Alie berbeda pendapat dengan SBY, tentunya karena SBY tetap memegang 3 posisi kunci, yaitu Ketua Dewan Pembina 2010 - 2015, Ex-Officio Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, maka ... seyogyanya tak ada kesulitan yang berarti jika atas prakarsa Presiden SBY diadakan pertemuan khusus dalam tubuh Demokrat untuk segera mengupayakan penyatuan persepsi dan pendapat terkait dengan rencana pembangunan gedung baru ini. Jika sampai detik ini wacananya masih berupa : "Pembangunan gedung baru DPR bisa ditunda jika rakyat menghendaki". Meskipun sebenarnya...sudah cukup jelas dan gamblang bahwa rakyat tidak menghendaki, terbukti dengan gerakan LSM, mahasiswa, para pendidik (Rektor, Dosen, Guru, dll) menentang rencana ini. Ini memang hal yang meurut saya "wagu", apalagi kalau dinyatakan gugatan rakyat itu belum memenuhi kuorum atau belum mewakili. Lha..apa iya semua rakayt harus ke gedung DPR ? Nanti ngga cukup....nanti malah bingung...dikira demo besar-besaran lagi....(repot khan...)
Jadi penyelesaian polemik pembangunan gedung DPR ini mohon jangan dibuat panjang-panjang....karena ini akan menghabiskan energi kita semua. Cobalah energi kita alihkan untuk menangani wabah ulat bulu, yang membuat saudara-saudara kita di Jatim, Jateng dan Bali benar-benar tersiksa hidupnya. Kenapa rakyat harus terus-menerus membahas kelayakan para Pemimpinnya, mulai dari Kepolisian, Keuangan, Kejaksaan, KPK, DPR, dstnya...(katanya sudah ahlinya, sudah arif dan bijaksana...kok masih dinilai lagi kelayakannya ? kok masih harus diawasi lagi perilakunya ?) Kok bukan mereka yang sepenuh jiwa raga memikirkan rakyatnya??? apakah benar semua rakyat bangsa ini bisa makan 3 kali sehari ??...Belum pernah dipastikan khan... (tapi ya...apa memang pernah dipikirkan ???).
Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, sebagai rakyat, karena biar bagaimanapun SBY adalah Presiden dan Pak Marzuki adalah Ketua Dewan yang terhormat, maka saya sebagai bagian dari rakyat ini akan tetap berupaya yang terbaik (walau cuma setitik tetesan air hujan, karena toh saya tetap tak bisa berbuat lebih daripada yang cuma secuil) untuk rakyat, bangsa dan negara yang saya junjung ini.
Upaya saya hanyalah mampu sedikit berpesan untuk teman-teman, karean sudah sepantasnya kita hidup untuk saling mengingatkan, bahwa dalam mensikapi situasi yang selalu memainkan emosi kita sebagai rakyat, maka ibarat permainan tinju kita harus waspada. Saat ini rakyat seperti sedang dibuat habis nafasnya oleh permainan lawan yang berubah-ubah arah, sebentar menyerang dari samping kanan, lalu dari bawah, yang bawah melemah tapi berikutnya muncul dari samping kiri. Kadang lawan pura-pura sempoyongan, padahal ketika rakyat mendekat malah diserang langsung dari sisi tengah. Sehingga wajah rakyat itu sudah bonyok, babak belur, berdarah tak keruan, mungkin matanya pun sudah tidak jernih lagi untuk melihat. Saya tidak akan mengatakan siapa lawan kita, tapi saya menghimbau untuk semua fokus memerangi hal-hal yang dapat melukai (baik jiwa maupun raga) rakyat Indonesia. Tapi kita harus waspada pada isu pokok, yaitu perangi kultur yang tidak baik (termasuk korupsi, dan lain-lain) dan tegakkan hukum sebaik-baiknya, upayakan hukum demi keadilan rakyat bukan demi kekuasaan apalagi keuntungan sesaat. Waspada pada apapun, dan siapapun yang berupaya memancing di air keruh, seolah ia dewa penyelamat, padahal itu adalah bagian dari permainan juga...(paham khan maksud saya).
Saya hanya ingin menghimbau, untuk kita semua jangan menghabiskan waktu pada hal-hal yang memang sudah disiapkan untuk pengalihan isu dan hal-hal mana yang pokok. Selayaknya semua permasalahan korupsi lebih ditangani secara gamblang, jelas, dan tuntas. Bukan ketika muncul isu baru lalu kemudian seolah dilupakan, bahkan nantinya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan pergantian kepemimpinan.
Ibarat sebuah tayangan film, saat ini seperti menuju akhir cerita (sekali lagi ini sekedar pendapat saya...) dimana para tokoh memang sudah mulai mengokang senapan masing-masing, sambil sudah saling mengintip gerakan lawan, dan sebentar lagi tontonan tembakan-tembakan akan dimulai. Biasanya di penghujung sesi tembakan-tembakan, akan ketahuan tokoh utamanya, biasanya kalau yang paling seru ada duelnya (tapi yang ini saya tidak tahu). Nah....selesai duel biasanya akan tampak keadilan Tuhan. Jarang ada film berani membuat cerita berlawanan dengan hukum alam (bahwa yang jahat akan menang), kecuali jika film tersebut dibuat berseri supaya produser bisa mendapatkan untung yang lebih banyak lagi. Tapi kalau Produser kali ini adalah Yang Maha Kuasa, apa mungkin Tuhan tega sama bangsa ini sehingga harus dibuat berseri lagi...lagi...dan lagi...macam Harry Potter dari sejak kanak-kanak samapai dewasa main film itu...terus...Saya yakin kok tidak, Tuhan pasti Maha Tahu bahwa rakyat NKRi sudah babak belur, kalau pertandingan dibuat lanjut lagi, atau filmnya dibuat berseri, bisa-bisa rakayt akan mati di atas ring, dan itu berarti Negara ini sudah gagal, dan proklamasi 17 Agustus 1945 tidak ada artinya lagi. Itu semua hanya menjadi cerita bahwa dulu pernah ada negara dan bangsa yang namanya Indonesia. Lantas, apa kita rela dan ikhlas dengan kemungkinan seperti itu ?? Kita lihat saja akhir film ini....semoga bukan seperti sinetron kejar tayang yang selalu berulang dan dapat berputar cerita, bahkan tiba-tiba muncul kembaran tokoh utama yang tidak pernah sama sekali digagas kapan kelahirannya.
Sabtu, 09 April 2011
PROFESI KUNCI PEMERATAAN PEMBANGUNAN
Oleh Rinawati Sucahyo
telah dimuat pada http://fasilitator-masyarakat.org tanggal 28 September 2009
Indonesia memiliki keragaman kekayaan luar biasa. Jika kita diperkenankan mengatakan bahwa masyarakat adalah juga merupakan kekayaan negara, maka kekayaan yang berwujud masyarakat itu pun sangat luar biasa beragam. Di satu sisi, sifat heterogen masyarakat Indonesia ini menjadi suatu pekerjaan yang berat bagi pengelola negara. Namun di sisi lain, sebenarnya hal tersebut adalah keunikan, bahkan kekayaan yang luar biasa dari negeri ini, jika masyarakat tersebut mampu dibangun jiwa dan raganya dengan benar, sebagaimana pesan para pendiri bangsa ini melalui salah satu bait syair lagu Indonesia Raya.
Membangun jiwa dan raga masyarakat bukan pekerjaan ringan, terlebih dengan heterogenitas dalam segala hal yang melekat dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Pengelola negara ini tidak mungkin bekerja sendiri, tanpa bermitra dengan orang-orang yang mampu bekerja secara total dengan masyarakat. Pengelola negara memiliki batasan lingkup kerja, yaitu melayani masyarakat pada ranah regulasi dan administrasi negara. Batasan tersebut haruslah jelas dan ada, agar tidak terjadi lagi pengelola negara justru merasa sebagai penguasa negara. Hal ini yang terkadang menjadi salah kaprah. Pengelola negara bukanlah yang memerintah tapi mereka yang melayani masyarakat, sehingga akan lebih tepat jika disebut public service, bukan pemerintah.
Untuk itu pengelola negara membutuhkan bantuan dari orang-orang yang mampu mengerti keberadaan masyarakat, untuk selanjutnya mampu memberikan penyadaran serta pencerahan akan keberadaan masyarakat itu sendiri. Agar mereka sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, hingga memotivasi mereka untuk optimis dan berupaya mewujudkan cita-cita negara ini bersama-sama. Cita-cita negara ini bukan cita-cita parsial yang kadang berbenturan atau bahkan meruntuhkan cita-cita kelompok lain.
Hal tentang cita-cita negara membutuhkan kepekaan yang berawal dari pengelola negara itu sendiri. Bagaimana pengelola negara ini melayani masyarakat yang hidup dalam alam pikir serta lingkungan heterogen tersebut. Mereka harus terlebih dahulu sadar akan pentingnya menyatukan pandangan tentang cita-cita negara, hingga “tangan-tangan” yang berniat dan memiliki kapasitas untuk membantu mereka dalam membangun masyarakat negara ini dapat terarahkan dengan baik.
Mengapa cita-cita negara ini menjadi penting? Tentunya karena dalam melakukan suatu hal, terlebih dalam lingkup yang luas seperti upaya pembangunan masyarakat suatu negara, harus memiliki tujuan yang jelas. Tujuan pembangunan di suatu negara itulah yang kita sebut cita-cita negara. Tak heran jika cita-cita harus setinggi langit. Tentu maksudnya adalah agar sepanjang masa, bahkan hingga bergantinya peradaban, sepanjang negara itu ada, segala upaya meraih cita-cita dengan cara membangun dan menata negara ini akan terus ada.
Kita kembali pada adanya kebutuhan untuk masyarakat ini dibangun jiwa dan raganya, sebagaimana dijelaskan di atas tadi. Untuk membangun jiwa dan raga langkah pertama yang dibutuhkan adalah pendekatan, agar masyarakat tidak defensif, karena umumnya masyarakat heterogen pada awalnya bersifat defensif terhadap masuknya unsur baru dari luar kelompoknya, atau bahkan dari luar kerangka pemikiran lingkungannya. Untuk dekat dengan masyarakat, butuh orang yang memahami mereka, yang menurut mereka bisa diterima dan mampu menyatu atau lekat dengan mereka. Singkat kata, dibutuhkan pendamping masyarakat.
Pendamping masyarakat ini adalah pembantu pengelola negara dalam membangun jiwa dan raga masyarakat. Mereka bergerak di tingkat terbawah, mereka tinggal dan akrab dengan masyarakat dalam kesehariannya, sehingga mampu mengetahui adab kebiasaan, dan mengerti akan kelebihan dan kekurangan masyarakat di lingkungan tersebut, hingga akhirnya mampu menggali apa yang sejatinya paling dibutuhkan masyarakat.
Tahap awal pendampingan masyarakat adalah penyadaran akan hak dan kewajibannya. Jika masyarakat mulai sadar dan tergerak untuk berupaya bersama-sama, maka mereka membutuhkan pendampingan sekaligus fasilitasi untuk mengetahui potensi dan kendala yang ada pada mereka dan lingkungan sekitarnya. Upaya pendampingan dan fasilitasi pemahaman potensi dan kendala ini harus diiringi atau dibungkus dengan motivasi atau semangat membangun yang tinggi dan konsisten. Oleh karena itu, upaya memotivasi masyarakat dengan selalu mempertahankan antusiaisme mereka merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh para pendamping atau fasilitator masyarakat. Tanpa antusiasme mereka sendiri, maka keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanyalah suatu mobilisasi dan rekayasa pembangunan semata.
Masyarakat yang telah memiliki semangat dan keyakinan untuk aktif berperan dalam pembangunan membutuhkan tahapan berikutnya, yaitu tahap fasilitasi untuk mengetahui dan memahami apa yang menjadi prioritas kebutuhan mereka dalam pembangunan diri mereka sendiri dan lingkungannya. Ketika masyarakat telah dapat menemukan prioritas kebutuhan lalu mengaitkan dengan potensi dan kendala yang ada, maka mereka memerlukan fasilitasi dalam mencari strategi pemenuhan kebutuhan tersebut. Dalam upaya mencari dan menyusun strategi pemenuhan kebutuhan, masyarakat hendaknya berpartisipasi secara aktif, dan dibangkitkan kembali semangat kebersamaan mereka, agar muncul inisiatif-inisiatif positif untuk melakukan swadaya dalam merealisasi langkah-langkah strategi pemenuhan yang dimaksud. Inisiatif swadaya di masyarakat adalah hal yang mampu meringankan beban bersama, serta mempertebal rasa persatuan di antara mereka.
Jika strategi pemenuhan kebutuhan telah teridentifikasi baik pada tataran realisasi hingga pemeliharaan atau pelestarian, maka masyarakat mulai melangkah pada tahap realisasi pemenuhan kebutuhan. Dalam upaya ini fasilitator tidak hanya dituntut memfasilitasi dan mendampingi, namun juga dituntut untuk mampu mengadvokasi, atau memediasi masyarakat dengan pihak lain (kadang dengan para pengelola negara terkait) yang pemikiran, keahlian, dan tenaganya dibutuhkan masyarakat.
Bilamana tahap realisasi pemenuhan telah tercapai, kebutuhan telah terpenuhi, maka perlu disepakati langkah rinci untuk pemeliharaan, pelestarian, dan bahkan strategi berikutnya untuk pengembangan. Dalam tahap ini, kembali seorang pendamping ataupun fasilitator perlu memiliki keahlian advokasi dan mediasi yang handal.
Hasil pembangunan dari dan untuk masyarakat ini haruslah dipotret dengan baik oleh para pengelola negara dan diinventarisir, serta dibantu dalam upaya pemeliharaan, pelestarian, dan pengembangannya. Peran pengelola negara dapat dilakukan dalam beragam bentuk, antara lain melakukan penguatan kapasitas fasilitator masyarakat, menyediakan tenaga ahli yang dibutuhkan oleh masyarakat, dan yang terpenting memperhatikan aspirasi masyarakat dengan menyusun rencana pembangunan yang memperhatikan kebutuhan masyarakat, serta mengalokasikan dana negara untuk mendukung realisasi pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut.
Masyarakat yang sudah cenderung maju dan mampu berkreasi dengan baik memerlukan fasilitator yang memiliki kepekaan dan kapasitas khusus guna makin memajukan dan mengembangkan kreativitas masyarakat tersebut. Fasilitator ini harus memiliki visi ke depan, kreatif, dan menguasai substansi yang sedang dikerjakan oleh masyarakat dengan baik, minimal menguasai konstelasi pengembangan kegiatan masyarakat tersebut, sehingga fasilitator ini mampu memediasi dan mengadvokasi masyarakat dengan pihak-pihak ahli terkait seperti dalam hal pemasaran produk, dan lain-lain. Ini juga termasuk antara masyarakat dengan pengelola negara, misalnya dalam hal regulasi, atau bahkan dalam upaya mematenkan hasil karya masyarakat tersebut, sebagai bentuk penghargaan terhadap karya otentik mereka.
Jika kita amati bersama, terlihat bahwa pembangunan masyarakat di Indonesia membutuhkan pendamping atau fasilitator masyarakat. Tugas mereka membantu pengelola negara ini dalam membangun jiwa dan raga masyarakat, yang realisasinya dapat beragam untuk dapat bersama-sama mencapai cita-cita negara.
Memfasilitasi masyarakat bukan pekerjaan yang statis. Fasilitasi masyarakat membutuhkan beragam keahlian dari beragam disiplin ilmu, sesuai tahapan fasilitasi, prioritas kebutuhan masyarakat, dan sesuai juga dengan perkembangan pemikiran dan kapasitas masyarakat itu sendiri.
Fasilitator masyarakat adalah salah satu profesi yang dibutuhkan di Indonesia. Banyak hal yang dapat diambil manfaatnya oleh negara ini jika dalam membangun bangsanya melibatkan fasilitator. Pertama adalah pembangunan tersebut dapat lebih merata, karena secara geografis Indonesia sangatlah beragam, dari perkotaan yang metropolis hingga perdesaan yang terpencil. Dengan adanya fasilitator yang terlatih untuk mampu beradaptasi sesuai lokasi sasaran, maka daerah terpencil pun dapat tertangani dengan baik. Kedua, masyarakat yang heterogen ini dapat terjaga kesatuan pemahamannya tentang cita-cita membangun bangsa dan negara, sehingga walaupun mereka berasal dari beragam suku dengan beragam tingkat intelektualitas, serta beragam pemikiran, namun ketika berperan dalam pembangunan mereka akan menuju cita-cita yang sama. Ketiga, dengan jumlah penduduk yang kian bertambah, dan jumlah tenaga kerja makin meningkat pula, termasuk jumlah tenaga kerja yang berpendidikan, maka peluang profesi fasilitator ini akan mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran, serta arus urbanisasi. Dengan meratanya pembangunan hingga ke pelosok desa, maka lapangan kerja bukan hanya di kota-kota besar, namun juga di seluruh pelosok.
Sudah saatnya pengelola negara ini melihat pemerataan pembangunan sebagai suatu keharusan, dan menjadi agenda yang terukur secara kuantitatif, serta menjadikan fasilitator masyarakat sebagai ujung tombak dalam membangun jiwa dan raga bangsa ini.
Jumat, 18 Maret 2011
Blogku berubah menjadi Trotoar....
Hidup senantiasa bergulir cepat...seiring waktu yang terus berjalan, tanpa ada satu orang pun atau bahkan satu malaikat pun yang menghentikan. Seiring waktu pikiran manusia pun terus berubah, juga pikiranku, yang selalu mendambakan segala sesuatunya menjadi semakin baik. Baik untuk diriku, diri orang lain, diri mahluk lain, agar semua merasa aman dan tidak saling menganggu, maka "Rina's Diary" berubah menjadi "Trotoar".
Sebagai area berkumpul, dan berjalan maju tanpa saling menganggu & tidak terganggu (terutama kena serempet kendaraan yang lajunya lebih kencang). Bahkan kita akan bisa mengamati beragam hal tanpa merusak ruang privat orang lain. Dari trotoarlah kita mampu menghentikan bus yang akan mengantar kita ke lokasi tujuan kita selanjutnya, mengamati sekitar kita dengan lebih leluasa, menanyakan alamat yang kita tuju kepada orang lain tanpa harus menghentikan kendaraan yang lewat, menjual dagangan, ngamen jika ada yang berminat mendengarkan, dan seterusnya.... Trotoar sebagai ruang publik untuk kita lalui bersama.
Semakin tinggi peradaban bangsa di suatu negara, semakin banyak dan luas trotoar yang akan dibangun di sana...dan fungsinya utamanya adalah untuk pejalan kaki yang terus bergerak melangkah maju, bukan untuk parkir, bukan untuk nongkrong, bukan untuk area dagang hingga pejalan kaki tak bisa lewat. Bisa siy...untuk dagang, tapi sifatnya sementara dan tidak menganggu orang yang lewat. Jadi jangan berdagang di trotoar yang sempit...bisa-bisa jalan kaki juga kena macet.... Mari kita menyusuri "Trotoar" yang indah ini................
Minggu, 13 Maret 2011
Rabu, 02 Maret 2011
KEMISKINAN DAN KEGAGALAN
Apa kabar semua.....??? Semoga semua baik-baik saja...sehat...karena di negara ini sekarang kita itu tidak boleh sakit. Tau ngga kenapa ?? ya ... benar, karena kalau sakit apalagi kalau harus ke dokter biayanya mahal...belum lagio obatnya lebih mahal lagi. Nah, jadi kalau kita ketemuan atau bertegur sapa di dunia maya pun kita wajib untuk saling mendoakan supaya kita sehat.
Tau khan kalau sekarang ini tidak hanya semua serba mahal, tapi juga sudah pakai bonus, yaitu.. bonus "makan hati" yah..benar, bonus makan hatinya masing-masing alias sakit hati !!
Jadi berhati-hatilah dalam mengarungi hidup sekarang ini, karena selain banyak yang bikin kita kesal dan sakit hati alias makan hati, juga bahkan jebakan masuk neraka. Udah pernah tahu khan bagaimana label janji surga pada suatu kegiatan ibadah, namun jika kita jalani maka kita akan beresiko tinggi masuk neraka ?? Salahsatunya yang sudah jelas-jelas banyak yang terjebak di negara ini adalah Naik Haji dengan biaya dana hasil korupsi. Ih...mengerikan...alih-alih dapat pahala, eh... malah neraka sudah siap menunggu ketika ajal tiba, amit-amit....jangan sampe... lupa diri seperti itu.
Bicara mengenai semua yang serba mahal, bicara mengenai KEMISKINAN. Rasanya kita sudah sangat sering dengar. Apa sih, sebetulnya Kemiskinan itu ???...... apakah betul yang dinamakan miskin itu adalah selalu tidak punya uang ????
Rasanya kita patut mencari logika dan pemahaman utuh tentang kemiskinan, karena jangan sampai negara ini lagi-lagi jadi bulan-bulanan pihak lain yang ingin mengambil keuntungan dengan mengatakan bahwa rakyat negara ini sangat banyak yang miskin dan perlu dibantu. Lalu ketika semua pengambil kebijakan di negara ini punya pemikiran bahwa kemiskinan itu harus ditanggulangi dan dihapuskan dengan memberikan sebanyak-banyaknya materi, baik bantuan dana atau sarana prasarana sesuai kebutuhan masyarakat, maka di situlah kesempatan pihak ketiga tersebut menguyur negara ini dengan bertrilyunan lebih dana yang dikatakan bantuan, padahal dana jeratan alias dana utang.
Sang pengambil kebijakan merasa bahwa tindakannya dengan mengakses sangat banyak utang adalah tepat, maka di sisi lain sebenarnya kemiskinan tersebut sedang berjalan untuk semakin sempurna. Ya... rakyat ini tidak hanya miskin secara materi, namun juga menjadi miskin kreatifitas, miskin motivasi, hingga miskin percaya diri. Mereka menjadi merasa tak akan mampu bangkit membangun sarana prasarana, merealisasikan beragam jenis kebutuhan, melakukan pertemuan untuk mengagas masa depan mereka sendiri, tanpa bantuan upah harian atau biaya transport ke tempat pertemuan.
Sungguh bangsa ini sangat tak pernah mensyukuri apa yang ada di negara yang subur dan siap untuk diolah ini, justru menjadi sangat...sangat.... malas untuk hanya sekedar mencangkul tanah mereka sendiri. Oh...betapa manjanya manusia di negara ini. Apakah pernah orang malas itu berhasil ???... Tentunya bangsa yang terdiri dari orang-orang malas itu akan gagal, dan lalu akan disebut NEGARA GAGAL.....
Lencana Facebook
Arsip Blog
-
►
2008
(7)
- ► Maret 2008 (1)
- ► April 2008 (2)
- ► November 2008 (2)
-
►
2009
(1)
- ► Januari 2009 (1)
-
▼
2011
(5)
- ► Maret 2011 (3)
-
►
2012
(1)
- ► Februari 2012 (1)