Ini sebuah penggalan cerita tentang apa yang saya alami semalam, sewaktu saya membeli nasi uduk untuk makan malam. Warung nasi uduk yang satu ini memang langganan saya dan suami sejak tahun lalu. Awalnya kami under estimate dengan warung ini karena wujudnya yang sederhana, yaitu bilik tidak permanen dari kayu yang dicat putih seluas 2 x 4 meter persegi, serta letaknya yang tidak menarik untuk didatangi, yaitu di bawah pohon senggon di pinggir jalan senggol, alias jalan yang hanya cukup untuk 1 mobil 2 motor. Kalau malam suasananya pasti jadi iiihh... agak seram, karena pohon senggon yang mendominasi area tersebut. Saking seringnya kami lewat jalan senggol itu, kami akhirnya jadi tertarik buat mampir di warung tersebut. Keinginan itu dipicu, karena setiap malam orang ramai datang untuk beli nasi uduk, ada yang naik sepeda motor, sepeda ontel, dan jalan kaki, tapi yang naik mobil masih jarang, karena sulitnya parkir di area itu. Ternyata setelah kami mencicipi nasi uduk "Warung Pohon Senggon" itu akhirnya kami ketagihan, dan jadi alternatif menu makan malam kami setiap kali pulang kantor.
Setelah berkali-kali saya dan suami datang ke sana, hingga mulai terbiasa berinteraksi dengan Ibu penjual nasi uduk yang sangat sederhana, dan kental logat Jawa-nya. Ada hal yang menarik di sini, yaitu Ibu penjual nasi uduk ini selalu dibantu oleh seorang anak laki-laki, yang sangat santun dan tak pernah melawan ketika disuruh apa saja. Walau dia baru datang setelah membeli minyak atau plastik dengan bersimbah peluh, dia tetap taat ketika diperintah apapun. Sangat jarang anak seusia itu mau dengan tulus ikhlas membantu orang lain, apalagi orang secerewet Ibu penjual nasi uduk tadi. Ibu ini memang lumayan cerewet, tapi tidak pemarah, dia selalu ingin semua tertata dengan baik dan teliti dalam mengakomodir keinginan dan kebutuhan pembeli. Dari mulai sambal yang dicampur dan dipisah, ayam yang digoreng garing, atau dipotong kecil-kecil, nasi yang satu atau setengah, sampai kursi untuk pelanggan yang antri (biasanya pelanggan yang antri duduk berjejer di bawah pohon dekat warung tersebut, kalau hujan ya... sambil duduk pake payung).
Saking seringnya berkunjung ke warung tadi, saya akhirnya tahu dari Ibu Penjual Nasi Uduk tersebut bahwa anak laki-laki yang selalu membantunya adalah anaknya yang paling kecil.
"Wah senang ya Bu, punya anak yang baik seperti itu" spontan saya berucap dan disambut "Alhamdulillah" oleh Si Ibu sembari tersenyum. Akhirnya sambil menggoreng ayam pesanan pembeli, Si Ibu bercerita tentang ke empat anaknya. Anaknya semua ada 4 orang, 3 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Anak pertama dan kedua sudah sarjana, dan sudah bekerja, masing-masing di Indosat dan Pelni. Sedangkan anak ketiga masih kuliah dan anak bungsu yang selalu menemaninya masih duduk di SMA Negeri favorit di Jakarta Selatan. Aku makin terkesima dengan penuturan ibu ini. "Yah, doain aja keingginan saya terkabul ya Bu, saya ingin semua anak saya bisa mencapai sarjana dan mandiri semua" Kata Ibu Penjual Nasi Uduk sambil membungkus nasi satu persatu. Tekad seorang ibu yang penuh kesederhanaan, mengajarkan anaknya tentang human relation yang baik, tanpa banyak teori, dan menyemangati anak dengan luar biasa, melalui semangatnya dalam keseharian yang tak pernah putus.
"Wah sekolah di SMA favorit itu saingannya berat, trus kapan anaknya belajar Bu?" tanya saya karena penasaran bagaimana si anak membagi waktu dengan baik.
"Yah sepulang dari sini, setelah dagangan habis sampai di rumah trus belajar" jawab Si Ibu ringan.
Terlihat Si Ibu tidak pernah melakukan instruksi khusus tentang pembagian waktu si anak, tapi anak yang mengatur jadwalnya sendiri. Bayangkan setiap malam dagang sampai jam 21 atau 21,30 lalu pulang dan baru belajar. Hebat juga stamina si anak, kalau saya jam segitu sudah tinggal 5 watt, mana mungkin bisa konsentrasi belajar.
Belajar dari yang sederhana kadang memang luar biasa, dan kadang tidak kita sadari bahwa diantara hal yang biasa saja, ternyata ada sesuatu yang luar biasa. Dari mulai warung kecil yang tidak dianggap, menjadi tempat rujukan menu makan malam, sampai tempat untuk mengambil hikmah dan semangat, yang siapa tahu bisa menular ketika kita membutuhkannya.
Sobat itulah menu makan malamku, Nasi Uduk dengan Bumbu Semangat Seorang Ibu yang kini membuat hidupku menjadi lebih hidup.
Rinawati
Jakarta di awal April, ketika hidup butuh menjadi lebih hidup
Selasa, 01 April 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Lencana Facebook
Arsip Blog
-
▼
2008
(7)
- ► Maret 2008 (1)
- ► November 2008 (2)
-
►
2009
(1)
- ► Januari 2009 (1)
-
►
2011
(5)
- ► Maret 2011 (3)
- ► April 2011 (2)
-
►
2012
(1)
- ► Februari 2012 (1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar