Minggu, 10 April 2011

ENERGI RAKYAT DAN ALUR SINETRON


Pagi ini ada hal yang sedikit mengusik diri saya. Tak lain dan tak bukan adalah tentang Pembangunan Gedung DPR MPR RI yang baru. Ada sedikit hal yang menurut orang Jawa bilang "Wagu" (ini bukan waria blagu lho...) yang kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, kira-kira artinya adalah tidak pas..., yaitu ketika Bapak Presiden SBY menyatakan tidak setuju dengan pembangunan gedung tersebut pada saat ini, dan Bapak Marzuki Alie justru akan tetap melanjutkan rencana ini. Keduanya dari partai yang sama, tapi keduanya punya pemikiran yang berbeda. Salahsatunya mengatakan demi kepentingan masyarakat dan agar tidak melukai hati masyarakat, sedangkan salahsatunya mengatakan ini semua sudah keputusan fraksi-fraksi. Yang satunya adalah Pemimpin Negara, yang satunya adalah Wakil Rakyat, yang sudah sepantasnya keduanya berpihak kepada rakyat. Sehingga nampak sekilas, seolah-olah di kubu Demokrat sendiri tidak solid.

Apakah hal ini tidak agak mirip dengan permasalahan di PKB yang berujung pada nasib Bu Lily Wahid dan Gus Choi ? Nampaknya tidak sama persis, ada sesuatu yang terasa berbeda, minimal ini pendapat dan kegundahan saya. Mohon maaf tentunya jika saya salah dan mungkin terlalu berprasangka, karena ketika Bu Lily Wahid dan Gus Choi berseberangan dengan partainya maka langsung ada tindakan keras terhadap mereka, seolah justru mereka adalah orang yang sudah berkhianat, padahal jelas mereka menyuarakan pendapat masyarakat yang mereka wakili (walau mungkin tidak semua) tapi minimal beda suara itu hak dan sah saja pada mekanisme demokrasi seperti ini. Tapi lalu kemudian ketika Marzuki Alie berbeda pendapat dengan SBY, tentunya karena SBY tetap memegang 3 posisi kunci, yaitu Ketua Dewan Pembina 2010 - 2015, Ex-Officio Ketua Dewan Kehormatan dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, maka ... seyogyanya tak ada kesulitan yang berarti jika atas prakarsa Presiden SBY diadakan pertemuan khusus dalam tubuh Demokrat untuk segera mengupayakan penyatuan persepsi dan pendapat terkait dengan rencana pembangunan gedung baru ini. Jika sampai detik ini wacananya masih berupa : "Pembangunan gedung baru DPR bisa ditunda jika rakyat menghendaki". Meskipun sebenarnya...sudah cukup jelas dan gamblang bahwa rakyat tidak menghendaki, terbukti dengan gerakan LSM, mahasiswa, para pendidik (Rektor, Dosen, Guru, dll) menentang rencana ini. Ini memang hal yang meurut saya "wagu", apalagi kalau dinyatakan gugatan rakyat itu belum memenuhi kuorum atau belum mewakili. Lha..apa iya semua rakayt harus ke gedung DPR ? Nanti ngga cukup....nanti malah bingung...dikira demo besar-besaran lagi....(repot khan...)

Jadi penyelesaian polemik pembangunan gedung DPR ini mohon jangan dibuat panjang-panjang....karena ini akan menghabiskan energi kita semua. Cobalah energi kita alihkan untuk menangani wabah ulat bulu, yang membuat saudara-saudara kita di Jatim, Jateng dan Bali benar-benar tersiksa hidupnya. Kenapa rakyat harus terus-menerus membahas kelayakan para Pemimpinnya, mulai dari Kepolisian, Keuangan, Kejaksaan, KPK, DPR, dstnya...(katanya sudah ahlinya, sudah arif dan bijaksana...kok masih dinilai lagi kelayakannya ? kok masih harus diawasi lagi perilakunya ?) Kok bukan mereka yang sepenuh jiwa raga memikirkan rakyatnya??? apakah benar semua rakyat bangsa ini bisa makan 3 kali sehari ??...Belum pernah dipastikan khan... (tapi ya...apa memang pernah dipikirkan ???).

Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya, sebagai rakyat, karena biar bagaimanapun SBY adalah Presiden dan Pak Marzuki adalah Ketua Dewan yang terhormat, maka saya sebagai bagian dari rakyat ini akan tetap berupaya yang terbaik (walau cuma setitik tetesan air hujan, karena toh saya tetap tak bisa berbuat lebih daripada yang cuma secuil) untuk rakyat, bangsa dan negara yang saya junjung ini.

Upaya saya hanyalah mampu sedikit berpesan untuk teman-teman, karean sudah sepantasnya kita hidup untuk saling mengingatkan, bahwa dalam mensikapi situasi yang selalu memainkan emosi kita sebagai rakyat, maka ibarat permainan tinju kita harus waspada. Saat ini rakyat seperti sedang dibuat habis nafasnya oleh permainan lawan yang berubah-ubah arah, sebentar menyerang dari samping kanan, lalu dari bawah, yang bawah melemah tapi berikutnya muncul dari samping kiri. Kadang lawan pura-pura sempoyongan, padahal ketika rakyat mendekat malah diserang langsung dari sisi tengah. Sehingga wajah rakyat itu sudah bonyok, babak belur, berdarah tak keruan, mungkin matanya pun sudah tidak jernih lagi untuk melihat. Saya tidak akan mengatakan siapa lawan kita, tapi saya menghimbau untuk semua fokus memerangi hal-hal yang dapat melukai (baik jiwa maupun raga) rakyat Indonesia. Tapi kita harus waspada pada isu pokok, yaitu perangi kultur yang tidak baik (termasuk korupsi, dan lain-lain) dan tegakkan hukum sebaik-baiknya, upayakan hukum demi keadilan rakyat bukan demi kekuasaan apalagi keuntungan sesaat. Waspada pada apapun, dan siapapun yang berupaya memancing di air keruh, seolah ia dewa penyelamat, padahal itu adalah bagian dari permainan juga...(paham khan maksud saya).

Saya hanya ingin menghimbau, untuk kita semua jangan menghabiskan waktu pada hal-hal yang memang sudah disiapkan untuk pengalihan isu dan hal-hal mana yang pokok. Selayaknya semua permasalahan korupsi lebih ditangani secara gamblang, jelas, dan tuntas. Bukan ketika muncul isu baru lalu kemudian seolah dilupakan, bahkan nantinya akan hilang dengan sendirinya seiring dengan pergantian kepemimpinan.

Ibarat sebuah tayangan film, saat ini seperti menuju akhir cerita (sekali lagi ini sekedar pendapat saya...) dimana para tokoh memang sudah mulai mengokang senapan masing-masing, sambil sudah saling mengintip gerakan lawan, dan sebentar lagi tontonan tembakan-tembakan akan dimulai. Biasanya di penghujung sesi tembakan-tembakan, akan ketahuan tokoh utamanya, biasanya kalau yang paling seru ada duelnya (tapi yang ini saya tidak tahu). Nah....selesai duel biasanya akan tampak keadilan Tuhan. Jarang ada film berani membuat cerita berlawanan dengan hukum alam (bahwa yang jahat akan menang), kecuali jika film tersebut dibuat berseri supaya produser bisa mendapatkan untung yang lebih banyak lagi. Tapi kalau Produser kali ini adalah Yang Maha Kuasa, apa mungkin Tuhan tega sama bangsa ini sehingga harus dibuat berseri lagi...lagi...dan lagi...macam Harry Potter dari sejak kanak-kanak samapai dewasa main film itu...terus...Saya yakin kok tidak, Tuhan pasti Maha Tahu bahwa rakyat NKRi sudah babak belur, kalau pertandingan dibuat lanjut lagi, atau filmnya dibuat berseri, bisa-bisa rakayt akan mati di atas ring, dan itu berarti Negara ini sudah gagal, dan proklamasi 17 Agustus 1945 tidak ada artinya lagi. Itu semua hanya menjadi cerita bahwa dulu pernah ada negara dan bangsa yang namanya Indonesia. Lantas, apa kita rela dan ikhlas dengan kemungkinan seperti itu ?? Kita lihat saja akhir film ini....semoga bukan seperti sinetron kejar tayang yang selalu berulang dan dapat berputar cerita, bahkan tiba-tiba muncul kembaran tokoh utama yang tidak pernah sama sekali digagas kapan kelahirannya.




3 komentar:

Unknown mengatakan...

Jaman sekarang itu terjadi pribahasa dalam kultur orang sunda (Nu Enya Dilain-lain, Anu lain dienya-enya) jadi artinya selalu berseberangan antara kebutuhan nsyarakat luas dengan apa yang pikirkan para pemangku kepentingan, dan penomena ini terjadi juga di daerah

Yusril mengatakan...

Pengalihan isu sudah jadi mainan basi yang tak bermutu...., tapi kadang masih banyaaaaakkkk aja orang yang bisa terhanyut dengan isu-isu baru yang tak bermutu itu, sementara isu lama yang jauh lebih penting dan tak tertuntaskan itu, seakan lenyap ditelan bumi dan tak lagi mejadi perhatian....., Selamat bagi pengalih isu, tapi ingat...., hidup tidak cuma di dunia..., Hhhhhhhhh Indonesia....

Rinawati mengatakan...

@ Ade : ya... begitulah krn sejatinya niat mereka menjadi anggota Dewan hanya utk mencari rejeki sebyk2nya bukan mewakili rakyat.
@ Pak Yusril : itulah Pak...negeri ini ibarat negeri dongeng, benar2 spt kisah sinteron kejar tayang yg diputar balik tak habis2, tanpa kejelasan alur cerita mau kemana & sgt tdk mendidik.

Lencana Facebook